Sabtu, 17 Januari 2015

Ungkapan CINTA untuk MUSLIMAH oleh Ummu Hawna

Bismillah…
Kadang Lelah mewarnai perjuangan kita, tapi semangat juang ini tak akan pernah pudar…
Kadang kesalahpahaman juga datang memberi warna pada persaudaraan kita, tapi keinginan dimengerti dan mengerti jauh lebih melekat disetiap hati kita…

Kadang tangis itu pun tak luput tergores dalam kanvas kehidupan kita, tapi bahagia terukir indah dalam lembaran kehidupan kita…
Rindu… sungguh rindu diri ini dengan perjuangan kita… Saat kita berlelah berjuang untuk bahagia… Saat kita berlelah untuk saling mengerti… dan sungguh diri begitu merindukan ukhuwah yang terjalin begitu indah…

Sahabat kapan kita akan berjuang kembali…?
Menorehkan tinta kebahagiaan dalam kanvas kehidupan kita…
Berbagi rasa dan cerita yang terkadang membuat kita tak kuat menahan tawa, namun tak jarang kita berpeluk erat dengan buliran air mata…

Sahabat kapan kita akan berjuang kembali…?
Mewarnai hari-hari dengan suka cita, canda, tawa dan kasih sayang…
Berlari kesana kemari untuk sebuah mimpi dan harapan kita bersama, berjuang untuk cita-cita kita membangun sebuah istana bahagia, yang indah dan penuh cinta.. Hingga setiap mereka yang datang akan merasa bahagia dalam istana kita…

Sahabat mungkin suatu saat jarak akan memisahkan kita, bahkan perbedaanpun akan mulai bermunculan dalam ukhuwah kita ini… Namun saat itu terjadi tetaplah seperti dulu… memberikan senyuman dan cinta tanpa ada harap lain selain ridhoNya…
Karena ku yakin meski begitu banyak perbedaan antara kita, tapi kita tetap satu tujuan… Yakni Dunia Bahagia Akhirat Syurga…

Tetaplah bahagia saudariku…
Jadilah Muslimah Bahagia dimanapun kita berada, jadilah bidadari dunia yang selalu bahagia hingga kita mampu tersenyum indah di taman syurga…
Ingatlah perjuangan ini tak akan berakhir, hingga darah mengering dan mata memutih…
Salam rindu untuk setiap perjuangan kita, salam rindu untuk saudariku yang dirindukan karenaNya…
Satu hal yang pasti dan kuyakini, hati ini dipenuhi oleh cinta untukmu saudariku… Satu Cinta untuk saudariku karenaNya…

Ungkapan Cinta untuk Akhwat Luar Biasa…
Akhwat “Mutiara Hati Indonesia” yang selalu Bahagia ^_^

Jumat, 16 Januari 2015

Saling MENCINTAILAH karena ALLAH, maka KEABAHAGIAAN akan menghampirimu



Abu Hamzah, Anas bin Malik ra, menerangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebuah pertanyaan untuk kita semua, “SUDAHKAH KITA SALING MENCINTAI KARENA ALLAH?”. Pertanyaan ini seharusnya senantiasa ada dalam benak pikiran kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai seorang muslim yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun kabar gembira bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw, Orang-orang yang saling  mencintai karena Alloh, maka kelak mereka akan berada di TEMPAT YANG TINGGI DAN MULIA YANG MEMANCARKAN CAHAYA. Para Nabi dan Syuhada’ pun merasa iri (sangat senang) terhadap mereka ”( HR. Tirmidzi )

Subhanallah… lantas bagaimana kita dikatakan sebagai golongan “ORANG-ORANG YANG SALING MENCINTAI KARENA ALLAH?”. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah, mereka yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebenaran dan dalam kesabaran. Mereka pula yang senantiasa tak bosan-bosannya saling mendo’akan dalam kebaikan, mereka yang saling memaafkan, dan mereka pula yang ada tatkala sahabatnya membutuhkan pertolongan dan perhatian, serta merekalah yang senantiasa berjalan menuju Allah dalam setiap aktivitas. insyaAllah…

Imam Syafi’i berkata, “Jika engkau punya teman yang selalu membantumu dalam rangka keta’atan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah engkau lepaskan. Karena mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali”

Dalam sebuah riwayat, bahwa jika suatu saat penghuni SURGA telah masuk ke dalamnya, lalu mereka tidak menemukan sahabat-sahabatnya semasa di dunia. Mereka pun bertanya kepada Allah tentang sahabatnya itu, “Ya Rabb, kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di  dunia sholat bersama kami, puasa bersama kami dan berjihad (berjuang) bersama kami.”

Maka Allah berfirman, “Pergilah kamu ke nereka, lalu keluarkanlah sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman walaupun hanya sebesar zarrah” (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab Az-Zuhd). Al-Hasan al-Basri berkata, “Perbanyaklah sahabat-sahabat mukminmu, karena mereka memiliki syafa’at pada hari kiamat nanti”.

Ibnul Jauzi pernah berpesan kepada sahabat-sahabatnya sambil menangis “Jika kalian tidak menemukanku di surga bersama kalian, maka tolonglah bertanya kepada Allah tentang aku, ‘Wahai Rabb kami, hamba-Mu si Fulan, sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami tentang Engkau. Maka masukkanlah dia bersama kami nanti di surga-Mu”.

Semoga Allah memasukkan kita semua dalam surga-Nya yang mengalir sungai-sungai dan keindahan tiada tara di dalamnya, Aamiin ya Rabb…

Ya Rabb.. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, Bertemu untuk ta’at kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (berdakwah di jalan) Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu. Maka, kuatkanlah ikatan pertalian kami, abadikanlah kasih sayang kami, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, dan penuhilah kami dengan cahaya-Mu yang tak akan pernah redup, lapangkanlah dada kami dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu dan matikanlah kami dalam keadaan syahid di jalan-Mu.


Ya Rabb…
Kami memohon kepada-Mu, karuniakanlah kepada kami sahabat-sahabat yang selalu mengajak kami untuk tunduk, patuh dan ta’at kepada syari’at-Mu. Kekalkanlah persahabatan kami hingga kami bertemu di akhirat dengan-Mu dan Rasul-Mu

Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada kekasih-Mu Muhammad Rasulullah Saw, kepada keluarganya, sahabatnya, dan jadikan kami sebagai pengikutnya yang setia sampai akhir zaman…


Sahabat yang saya cintai karena Allah, mudah-mudahan dengan buku ini, saya telah mengingatkan sahabat semua dan khususnya diri saya sendiri tentang Allah dan Rasul-Nya, agar saya dan kita semua bisa bersama-sama berkumpul di surga-Nya. Aamiin ya Rabb…

Cara CERDAS Menjemput JODOH "Ikhtiar CINTA yang Syar'i"



Dalam kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan beberapa kisah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentang bagaimana cara mendapatkan jodoh;

Pertama, kejadian yang dialami oleh Ummu Sulaim tatkala dipinang oleh Abu Thalhah yang tidak beragama Islam saat itu. Ketika dipinang, Ummu Sulaim menjawab, “Ya Abu Thalhah, orang seperti kamu tidak selayaknya untuk ditolak pinangannya. Sayang, engkau adalah seorang lelaki kafir sedangkan aku perempuan muslimah. Ya Abu Thalhah tidak halal bagiku menikah dengan mu, namun jika engkau bersedia masuk agama Islam, maka cukuplah itu sebagai mahar bagiku.”

Ternyata Abu Thalhah bersedia masuk Islam, dan inilah yang menjadi mahar pernikahan Ummu Sulaim. Tsabit r.a berkata, “Aku belum pernah mendengar seorang perempuan yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim” (Nasa’I, dari Tsabit)

Keputusan yang diambil oleh Abu Thalhah amat melegakan hati Ummu Sulaim, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan demikian konsistensi Ummu Sulaim terhadap landasan agama sebagai tolak ukur menilai kebaikan seseorang. Sebagai mu’alaf yang baru saja masuk Islam, tentu saja keislamannya tidak bisa disejajarkan dengan kualitas para sahabat yang lebih dulu masuk Islam. Akan tetapi kesediaan Abu Thalhah untuk berproses dalam kebaikan, cukup menjadi jaminan bahwa pada saatnya nanti ia akan tumbuh dalam celupan Islam yang kokoh. Terbukti, sejarah mencatat bahwa Abu Thalhah akhirnya menjadi sahabat Nabi yang setia dalam kebaikan Islam hingga syahid menjemputnya.

Kedua, Rasulullah Saw pernah menikahkan sahabatnya.

Hal ini terjadi ketika Rasulullah berdialog dengan ‘Ukaf yang masih bujang padahal saat itu ia mempunyai kemampuan untuk menikah. Tatkala Rasulullah Saw menganjurkan ia untuk menikah, maka ‘Ukaf menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.”

“Kalau begitu, dengan nama Allah dan berkahNya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum Al-Khumairi” (HR. Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar).

Sebuah pembelajaran yang dapat kita ambil dalam kisah ini adalah bahwa Nabi Saw memilihkan dan menjodohkan ‘Ukaf dengan Kultsum Al-Khumairi. Ini menunjukkan suatu contoh dimana proses mendapatkan jodoh bisa melalui seorang pemimpin, tatkala memang urusan itu diserahkan kepada pemimpinnya. Nabi dengan hak yang dimilikinya menjodohkan seorang sahabat dengan sahabiyatnya. Contoh seperti inilah yang banyak terjadi dalam sejarah Islam.

Rasulullah Saw bukan saja seorang Nabi, namun beliau adalah pemimpin bagi seluruh kaum Muslim. Lantas bagaimana konteks di zaman sekarang? Tentunya seorang pemimpin jamaah atau organisasi Islam, bisa memproseskan pernikahan anggotanya jika yang bersangkutan menginginkannya tanpa ada keterpaksaan atau paksaan dari pihak yang lain.

Ketiga, tentang sikap orang tua yang aktif mencarikan suami bagi anak perempuannya. Hal ini dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika aktif menawarkan anak perempuannya, Hafshah, setelah suami Hafshah syahid di medan Uhud, untuk dinikahi para sahabat-sahabat mulia. Suatu saat Umar bin Khattab menawarkan kepada Utsman bin Affan r.a, “Ya Umar berilah aku waktu untuk berfikir,” demikian jawab Utsman.

Selang beberapa hari Utsman menyampaikan jawabannya, “Ya Umar, rasanya belum tiba saatnya bagiku untuk menikah.” Kemudian Umar menawarkan kepada Abu Bakar ra. Ternyata Abu Bakar hanya diam saja, dan ini membuat Umar merasa tersinggung. Ia kemudian menghadap Rasulullah Saw menyampaikan sikap Utsman dan Abu Bakar atas tawarannya. Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah menjodohkan puterimu dengan orang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman diberi jodoh yang lebih baik dari puterimu.”

Akhirnya Hafshah dinikahi oleh Rasulullah dan Utsman diambil menantu oleh Rasulullah Saw dinikahkan dengan Ummu Kultsum puteri beliau. Setelah Rasulullah Saw menikahi Hafshah, Abu Bakar datang kepada Umar sembari berkata, “Ya Umar, bukankah ketika engkau menawarkan puterimu kepadaku, aku sama sekali tidak memberikan jawaban sedikitpun?”

“Benar,” jawab Umar. “Wahai Umar, sebenarnya tidak ada halangan bagiku menerima tawaranmu, hanya saja aku pernah mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut puterimu. Aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Saw. Tetapi bila Rasulullah menolak tawaranmu, tentu aku bersedia menikahi puterimu,” jawab Abu Bakar (HR. Bukhari).

Subhanallah, sebagai pembelajaran dalam kisah ini kita melihat Umar bin Khattab sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Pada kisah ini juga kita menyaksikan jawaban dan sikap yang menarik dari Abu Bakar atas tawaran Umar. Bukan ia menolak menikahi Hafshah, akan tetapi Abu Bakar pernah mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut nama Hafshah.  Disinilah kepakaan hati dan perasaan Abu Bakar sebagai sahabat serta kedekatannya dengan Rasul cukup memberikan pengetahuan kepada-Nya bahwa “Rasul Saw menginginkan Hafshah,”maka dalam pandangan dan logika Abu Bakar, “Bila Rasulullah menolak tawaranmu, tentu aku bersedia menikahi puterimu.”

Lantas bagaimana dengan konteks zaman sekarang, bisakah orang tua aktif mencarikan calon pendamping untuk anak perempuannya? Tentu hal ini boleh, akan tetapi dalam memutuskan tetaplah harus meminta persetujuan anak perempuan yang bersangkutan agar tidak menimbulkan kekecewaan dalam diri seorang anak khususnya. Dalam konteks yang sedikit berbeda, boleh juga orang-orang yang sholeh yang dipercaya untuk mencarikan calon suami atau isteri bagi seseorang.

Keempat, Wanita Aktif Mencari Jodoh

Pada zaman Rasulullah ada seorang sahabiyah mencari sendiri calon suaminya, dengan menawarkan dirinya kepada laki-laki paling saleh, Nabi Saw. Anas berkata, Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya berkata: wahai Rasulullah, apakah engkau berhasyrat kepadaku? dalam satu riwayat yang lain disebutkan, wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang hendak menyerahkan diriku kepadaMu.”

Ada juga sebuah kisah yang terjadi ketika Siti Khadijah ra menyatakan hasyratnya  untuk menikah dengan Rasulullah Saw. Menurut riwayat Ibnul Atsir  dan Ibnu Hisyam, bahwa Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya raya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi Muhammad SAW dan kemuliaan akhlaqnya. Khadijah mencoba memberi amanah kepada Nabi Muhammad SAW dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syria, Lebanon dan Yordania).

Khodijah membawakan barang dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad SAW ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khodijah. Nabi Muhammad SAW menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khodijah. Khadijah tertarik pada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan  Nabi Muhammad SAW. Khadijah kemudian menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan Nabi dengan perantara Nafisah binti Muniyah. Nabi Muhammad SAW menyetujuinya, kemudian nabi menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khodijah untuk Nabi Muhammad SAW dari paman Khodijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW Khodijah pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’dz at-tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at- Tamimi, namanya Hindun bin Zurarah.

Dalam konteks kehidupan kita saat ini, boleh saja seorang wanita mencari calon suaminya. Walaupun hal ini biasanya terkendala oleh kultur atau budaya masyarakat, akan tetapi sesungguhnya bukan merupakan hal yang bersifat aib atau tercela. Yang penting teknisnya dilakukan dengan jalan yang bijak dan sesuai dengan fitrah wanita.

Dalam kitab An-Nikah karangan imam Bukhari menerangkan bahwa, “Tiada kehinaan bagi yang memulai kebaikan, laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam hal melamar”. Tsabit al-Bunnani berkata, “Aku berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah aku datang hendak memberikan diriku padamu.” Maka putri Anas berkata, “Betapa sedikitnya perasaan malunya” lalu Anas berkata, “Dia lebih baik dari pada engkau, karena dia menginginkan Nabi Saw, lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Bukhari)

Dari hadits diatas Ibnu Daqiqil 'Id berkata, Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan diperbolehkan wanita menawarkan dirinya kepada orang yang diharapkan berkahnya, namun harus memperhatikan beberapa hal berikut ini :

1)      Lelaki yang Baik agamanya dan mampu menjaga ‘Izzah seorang wanita (Jika dia pria baik, maka akan menerima dengan baik atau menolak dengan baik pula. Sehingga, harkat dan martabat perempuan tetap terpelihara.)
2)      Shaleh dan untuk berjuang di jalan Allah bukan untuk perbuatan yang tercela.
3)      Menempatkan atas agamanya, bukan pada Nafsu
4)      Lebih Ahsan(baik) bila menggunakan perantara yang amanah , seperti ( Orangtua, murabbi, Guru, Sahabat, dll)

Akhirnya, dari beberapa kisah yang telah kita pelajari bersama diatas, tanpak berbagai cara yang bisa di tempuh untuk mendapatkan jodoh dalam melaksanakan pernikahan. Ada sahabat yang dicarikan pasangan hidupnya oleh Nabi Saw, ada sahabat yang mencari sendiri calon istrinya, ada yang dicarikan oleh orang tuanya dan ada pula wanita yang menawarkan dirinya kepada laki-laki shaleh serta ada juga yang melalui perantara  orang lain.

Lantas sebuah pertanyaan untuk sahabat semua yang menginginkan proses pernikahannya terhindar dari fitnah dan mengharapkan berkah, “Cara yang mana yang akan anda tempuh untuk mewujudkan rencana pernikahan anda?”

Maka dari itu, saya ingin menyampaikan, apapun pilihan yang anda putuskan, hendaknya dipertimbangkan tentang  aspek kemanfaatan dan kemudharatannya yang paling minim  di dalam proses tersebut. Tidak boleh melakukan aktivitas yang jelas-jelas terlarang oleh syari’at seperti berdua-duaan di tempat sepi, berpegang-pegangan tangan atau anggota tubuh lainnya untuk mendapatkan kenikmatan dan kesenangan syahwat dalam pemilihan jodoh, atau justru memutuskan berpacaran dengan dalih supaya saling mengenal yang sebenarnya dalam syari’at Islam tidak ada yang menganjurkannya karena proses pacaran adalah salah satu jalan yang paling efektif untuk bermaksiat kepada Allah Swt.


Untuk mengakhiri pembahasan ini, proses pernikahan (Proses ta’aruf) yang anda lakukan harus terjaga dan mengundang datangnya berkah dari Allah Swt karena pada dasarnya proses yang anda lakukan adalah sebuah rangkaian amal ibadah sehingga diharapkan mempunyai nilai-nilai kebaikan (Dakwah) sebagaimana proses pernikahan yang Rasulullah dan para sahabat serta orang-orang yang beriman lakukan.

SEMOGA BERMANFAAT, SILAKAN DI SHARE YA

Memilih Calon SUAMI



Seperti halnya dalam memilih calon isteri, manakala perempuan memilih calon suami baginya, maka hendaknya ia menentukan kriteria terlebih dahulu juga agar tidak terjebak ke dalam pragmatis seperti dalam pembahasan sebelumnya. Terkadang dalam pelaksanaannya, penampilan seorang laki-laki sedemikian rapi dan terlihat terhormat, akan tetapi kepribadiannya tidak bisa ditebak hanya oleh penampilan fisik semata-mata.

Ketertipuan penampilan memang sangat mungkin terjadi oleh karena sikap berpura-puranya seseorang, atau asesoris dan astribut yang dipakai oleh seorang laki-laki. Suatu ketika Rasulullah Saw bertanya kepada sahabatnya, ketika ada seorang laki-laki lewat di hadapan beliau, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang itu?

Kalau dia meminang wanita pasti diterima, kalau menolong orang akan berhasil dan jika bicara akan didengar orang,” jawab para sahabat.


Rasulullah Saw terdiam. Tidak lama kemudian lewat seorang laki-laki miskin di hadapan beliau. Sembari memandang para sahabat, beliau bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang yang ini?.

Jika meminang wanita pasti dia ditolak, jika menolong tidak akan berhasil dan jika bicara tidak akan didengar,” jawab sahabat

Rasulullah Saw bersabda, “Orang ini lebih baik dibandingkan orang yang pertama tadi sebanyak isi bumi.” (HR. Bukhari)

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw mengingatkan para sahabatnya tentang fenomena semacam itu: “Bisa jadi orang yang tampak kusut, berdebu, kumal pakaiannya dan tidak diperhatikan orang, kalau dia berdo’a memohon kepada Allah justru akan dikabulkan-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad dan Hakim)

Para sahabat wanita yang dimuliakan, mengingat ketertipuan dari segi penampilan fisik sangat mungkin terjadi. Maka hendaknya wanita menjadikan pertimbangan kebaikan agama sebagai landasan utama pemilihan suami. Rasulullah Saw bersabda, “Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaknya meminang (anak perempuanmu), nikahkanlah dia. Apabila engkau tidak menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (HR. Tirmidzi)


Diperbolehkan, manakalah ada seorang wanita dalam memilih calon suami yang kaya, memiliki status sosial yang baik, dari keluarga yang baik, tampan, tetapi jangan lupa landasan agama tetap harus dinomorsatukan. Tatkala Rasulullah Saw menyebutkan empat hal mengapa wanita dinikahi, maka bisa pula dinisbatkan sebaliknya kepada kaum wanita. Tiga hal pertama yang disebutkan bersifat fitriyah, artinya sesuai dengan kecenderungan rata-rata manusia. Wanita juga menyukai laki-laki yang kaya, tampan dan memiliki kedudukan social.

Memilih Calon ISTRI



Proses pernikahan diawali dengan pemilihan calon pasangan hidup. Seorang laki-laki menentukan pilihan siapa calon istri yang akan dilamar dan dinikahinya, demikian juga seorang perempuan menentukan calon suami yang akan menjadi pendamping hidupnya. Allah Swt. Berfirman, “Maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang kalian sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.” (QS. An-Nisa’ 4: 3)

Perintah “nikahilah perempuan-perempuan” dalam ayat diatas tentu saja ditunjukkan kepada kaum laki-laki, dengan sebuah keterangan yang amat jelas, yaitu ma thabalakum, yang kamu sukai. Di sini terkandung unsur ketertarikan, kesenangan, kecenderungan. Sehingga perempuan yang dinikahi tersebut benar-benar bisa menjadi pendamping yang menyenangkan.

Dalam hal menentukan pilihan, tentunya anda pada awalnya harus menetapkan kriteria calon pasangan yang anda inginkan dari sekian banyak kepentingan dalam proses pernikahan. Apabila tidak menentukan kriteria tersebut dikhawatirkan akan jatuh ke pragmatis, baik pragmatis karena tertipu penampilan maupun pragmatis asal dapat jodoh. Rasulullah Saw telah bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan agamanya agar selamat dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits diatas sangatlah jelas bahwa dalam penentuan kriteria yang paling utama karena agamanya. Perempuan dinikahi karena kebaikan pondasi agamanya, yang akan menjadi jaminan kebaikan kepribadian dan urusan keluarga nantinya. Dengan kepentingan agama inilah, seorang laki-laki telah meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan keluarganya kelak. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw menjelaskan dengan, “ Pilihlah berdasarkan agamanya agar selamat dirimu.”

Kriteria utama yang harus senantiasa ditetapkan oleh seorang laki-laki dalam menentukan calon isteri adalah agama, yaitu seorang perempuan muslimah yang salehah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berakhlak mulia. Tentu saja kepentingan lain tidak diabaikan, hanya saja haruslah berlandaskan kebaikan agama, bukan yang lain.

Rasulullah Saw bersabda, “Empat hal yang apabila dianugerahkan kepada seseorang berarti dia mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, tubuh yang sabar menerima musibah, dan isteri yang bisa menjaga diri dan harta suaminya.” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas)

Demikian juga sabda Rasulullah Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash: Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salehah (HR. Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad dan yang lainnya)

Dalam hadits diatas, Rasulullah Saw. Memberikan pengarahan yang begitu penting dan amat tinggi nilai wanita mulia, yang bisa menjaga diri dan harta suaminya. Ia adalah wanita saleheh, wanita yang berakhlak mulia, mengerti posisi diri di hadapan Allah azzawajallah sehingga mampu  menjaga kebaikan diri dan keluarganya.

Dengan landasan agama inilah, Islam mengharamkan pernikahan antar agama, karena hal itu bertentangan dengan syariat Islam yang akan menghancurkan kebaikan dalam rumah tangga. Allah Swt menegaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221.

“Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman. Seorang budak perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia sangat mempesona hatimu (QS. Al-Baqarah 2: 221)

Saudaraku yang saya cintai dan banggakan karena Allah Swt. Lantas bagaimana dengan kriteria yang anda inginkan untuk calon pasangan hidup anda nantinya? Sudahkan anda memikirkannya? Dalam pembahasan kriteria ini diharapkan kaum laki-laki tidak terjebak hanya oleh faktor-faktor keduniaan yang justru akan menghinakan dirinya. Misalnya, kecantikan. Kecantikan wajah itu hanya sifatnya sementara, semakin bertambahnya usia seseorang maka akan semakin memudar dengan sendirinya, ataupun jika ia terkena kecelakaan lalu lintas sehingga wajahnya rusak, hilanglah kecantikan itu. Sehingga bisa jadi seseorang yang manikah lantasan karena kecantikan, ketika kecantikan itu telah tiada maka akan mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Begitupun dengan kekayaan, karena harta bisa binasa dalam waktu sekejap. Kedudukan juga tidak langgeng karena betapa banyak orang yang berada pada posisi terhormat harus di jatuhkan dengan cara yang tidak terhormat sehingga menjadi hina karenanya.

Maka dari itu Rasulullah Saw memberikan penjelasan kepada kita semua dalam menentukan pilihan atau kriteria calon pendamping hidup kita: Barangsiapa menikahi perempuan hanya karena kemuliaannya, maka Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kehinaan. Barangsiapa menikahi perempuan karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kafakiran. Barangsiapa menikahi seorang wanita karena keturunannya, maka Allah tidak akan manambah kepadanya kecuali kerendahan.

“Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena ingin menjaga pandangan mata, memelihara kemaluan dari perbuatan zina, atau menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkahan kepada keduanya (HR. Thabrani).

Dan dipertegas kembali dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Abdullah bin Amr, Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu manikahi wanita karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikan itu akan membinasakannya; dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, karena boleh jadi harta itu akan menjadikannya sombong. Tetapi nikahilah wanita karena agama. Budak yang hitam kulitnya tetapi beragama itu adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah).


Al Qurthubi berkata, “Makna hadits ini adalah, Keempat hal (harta, kedudukan, kekayaan dan agama) yang dianjurkan menikahi wanita karenanya, yang demikian itu adalah sebaik-baik hal yang ada; bukannya itu terjadi secara keseluruhan. Bahkan menurut lahirnya, diperbolehkan menikah dengan tujuan tiap-tiap satu dari hal itu, namun tujuan agama adalah lebih utama. Dari hadits ini tidak boleh dimunculkan dugaan bahwa kafa’ah itu terbatas pada keempat hal itu saja. Sepengetahuan saya tidak ada seorangpun yang berpendapat begitu, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kafa’ah itu.”

Laki-laki dan wanita punya hak yang sama dalam melamar


"Tiada kehinaan bagi yang MEMULAI KEBAIKAN. laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam hal melamar"
(Kitab Al-Bukhari, kitab an-Nikah, Bab an Nazhar ilal mar'ah Qablat Tazwij)

Tsabit al-Bunnani berkata, "Aku berada di sisi Anas, dan disebalahnya ada anak permpuannya. Anas berkata, "Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW menawarkan dirinya seraya berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan diriku kepadamu."

Maka putri Anas berkata, "Betapa sedikitnya perasaan malunya."  Anas berkata, "Dia lebih baik dari pada engkau, karena dia menginginkan Nabi Saw, lalu menawarkan dirinya kepada beliau." [HR. BUKHARI]

Selanjutnya Ibnu Daqiqil 'Id berkata, "Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan diperbolehkannya wanita menawarkan dirinya kepada orang yang diharapkan berkahnya, namun harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

PERTAMA: Lelaki yang baik agamanya dan mampu menjaga 'Izzah seorang wanita (Jika dia pri baik, maka akan menerima dengan baik atau menolak dengan baik pula. sehingga harkat dan martabat seorang wanita tetap terpelihara)

KEDUA: Shaleh dan untuk berjuang di jalan Allah bukan untuk perbuatan yang tercela

KETIGA: Menempatkan atas agamanya, bukan nafsu

KEEMPAT: Lebih baik bila menggunakan perantara yang amanah, seperti orangtua, guru ngaji, murabbi, guru, sahabat dll

Sebagai contoh seperti kisah yang terjadi ketika Siti Khadijah ra menyatakan hasyratnya  untuk menikah dengan Rasulullah Saw. Menurut riwayat Ibnul Atsir  dan Ibnu Hisyam, bahwa Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya raya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi Muhammad SAW dan kemuliaan akhlaqnya. Khadijah mencoba memberi amanah kepada Nabi Muhammad SAW dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syria, Lebanon dan Yordania).


Khodijah membawakan barang dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad SAW ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khodijah. Nabi Muhammad SAW menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khodijah. Khadijah tertarik pada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan  Nabi Muhammad SAW. Khadijah kemudian menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan Nabi dengan perantara Nafisah binti Muniyah. Nabi Muhammad SAW menyetujuinya, kemudian nabi menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khodijah untuk Nabi Muhammad SAW dari paman Khodijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.


SEMOGA BERMANFAAT


Rubah MASA LALU dengan Menatap MASA DEPAN dengan SEMANGAT PERUBAHAN


“Masa lalu adalah bayangan, masa sekarang adalah kenyataan dan masa depan adalah harapan”, begitulah kata-kata bijak yang sering terlontar dari motivator. Bagi kita adalah yang terpenting dapat menangkap maknanya dengan erat dan menghayatinya dalam setiap langkah yang diambil.
Bagaimana pun pahit atau manisnya masa lalu, dia tak akan pernah kembali. Ia bersatu bersama waktu, dilatari keadaan waktu itu, baik kondisi diri kita dan lingkungan kita. Jangan pernah merasa sama dan mau sama, kita yang sekarang dengan kita yang dulu!
Kita seharusnya meyakinkan diri kita, bahwa kita lebih baik daripada kemarin dan masa lalu itu. Kenapa? Bukankah dalam sebuah hadist dinyatakan, “merugilah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin”. Maka dari itu, kenapa kita harus merasa sama dan terlalu melihat masa lalu?
Walaupun keadaan kita seperti sama, mulailah dari merubah maind set bahwa kita berbeda, dan lebih baik dari hari kemarin dan masa lalu. Masa lalu hanya bayangan, ia hanya untuk bahan introspeksi agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Minyak bumi, gas alam dan batu bara adalah sisa jasad masa lalu. Ia menjadi sangat berguna karena dapat menjadi bahan bakar yang menghasilkan energi (kekuatan). Ini petunjuk luar bisa dari Sang Maha Pencipta, maka seperti itulah seharusnya masa lalu kita jadikan.
Selanjutnya, mari kita nikmati masa sekarang. Coba berpikir sejenak, apa yang takut hilang dari diri kita, tetapi sebetulnya kita masih memilikinya? Mungkin orang tua, sanak saudara, teman-teman baik, kesehatan, pekerjaan yang menantang dan menyenangkan, penghasilan, serta keyakinan kita pada Yang Maha Segala-galanya. Jangan sampai, saat ini kita tidak merasa bahwa itu suatu kenikmatan, karena merasa biasa akibat masih ada, karena sibuk melihat masa lalu, atau karena terlalu melambung mencipta-cipta masa depan, atau terlalu sibuk menatap yang serba lebih dari kita.
Menikmati masa sekarang adalah wujud syukur, karena bersyukur yang paling utama adalah bukan pada masa lalu atau masa depan, tetapi saat ini juga! Jadi, tak perlu lagi masa lalu yang pahit menyakiti hati kita saat ini, lalu kita menunda dengan berbagai alasan untuk bahagia saat ini, untuk bersyukur saat ini, untuk memulai menjalin hubungan saat ini, untuk berzakat dan banyak bersedekah saat ini, untuk banyak beribadah saat ini, dan lain-lain.
Kita tidak pernah tahu, apakah kita besok masih hidup sehingga kita bisa meraih apa yang kita cita-citakan. Apakah orang tua kita masih ada, sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam pernikahan kita? Apakah pekerjaan kita masih ada, karena tempat kerja kita manajemennya berjalan baik? Dan lain-lain. Yang jelas kita : t i d a k  p e r n a h  t a h u !
Masa depan adalah kuasa Allah SWT, ghaib. Kita hanya diwajibkan untuk berpikiran positif. Bukankah Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya, “Aku seperti persangkaan hamba-Nya. Maka dari itu, masa depan, orang-orang, pekerjaan, lingkungan mau lama atau baru seharusnya ditatap dengan persangkaan yang baik, bukan yang buruk! Dan ini seharusnya berlaku untuk segala hal, tak terkecuali, walaupun kita pernah trauma dengan hal itu, karena Allah SWT sendiri mewanti-wanti kita agar selalu berpegang pada-Nya, “dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”
Jadi, setelah menyadari, jangan hentikan langkah sampai di batas sadar. Karena tak akan banyak berguna. Putuskanlah untuk mengambil langkah demi langkah dengan cepat tetapi cermat saat ini juga dengan selalu bergantung pada Yang Maha Tahu Segala-galanya. Kita tidak akan pernah sangat menyesal, jika kita sudah berupaya seoptimal mungkin. Penyesalan biasanya timbul dari usaha yang kurang sungguh-sungguh untuk keluar dari belenggu dan timbul karena hanya berupaya secara biasa-biasa saja. Semoga Allah SWT meridhai segala tindakan yang kita ambil. Wallahu’alam

MANAJEMEN TA'ARUF


Sebuah pertanyaan yang terkadang tak penting untuk dijawab dan dianggap sebuah lelucon kebayakan orang yang belum memahami makna hidup dan tujuan sebenarnya dalam kehidupan ini, yaitu “Apakah Anda telah merasa siap menikah? Atau Sudahkan anda mempersiapkan pernikahan anda?”. Bagi anda yang mengetahui dan yakin bahwa Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah saw dan juga sebagai amal ibadah yang dengannya menyempurnakan separuh agama kita, maka saya berani mengatakan dan percaya bahwa anda adalah orang yang cerdas dan bijak dengan mempersiapkan sedini mungkin  baik secara keilmuan maupun secara finansial dan tentunya sudah mempunyai targetan kapan akan menikah, karena hal itu adalah bagian dari sebuah proses ibadah.

Berbicara masalah kesiapan seseorang untuk menikah, maka saya ingin mengatakan bahwa jangan sampai menunggu kesiapan anda mencapai seratus (100) persen, sebab rasa-rasanya Anda tidak akan pernah berada dalam suatu kondisi dimana bisa mengatakan telah siap seratus persen. Cukuplah persiapan anda mencapai sebagian besarnya, lebih dari limapuluh persen. Sisa kekurangannya bisa Anda lakukan bersamaan dengan proses menuju pernikahan itu sendiri, dalam hal ini yang ingin  saya bicarakan adalah sebuah proses ta’aruf sebagai alternatif yang bisa kita melakukan dalam penjagaan diri agar Allah Azzawajallah memberkahi proses tersebut.

Disisi lain yang sangat penting adalah anda harus merasa mantap dan tidak ragu-ragu, sebab Rasulullah Saw. Mengajarkan kepada kita: “Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu menuju hal-hal yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi)

Terkhusus bagi sahabat yang saya cintai karena Allah yang yakin dan siap untuk segera menikah, untuk berada dalam kondisi tidak ragu-ragu saat melakukan proses pernikahan (Proses Ta’aruf). Anda harus berada dalam kondisi yang yakin, bahwa anda memang telah siap untuk menikah dengan segala resiko dan konsekuensinya serta sebuah keyakinan akan janji Allah sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya:

 “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak manikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur 24: 32)

Semoga Allah memberikan kemudahan kepada Anda untuk bisa memiliki kesiapan yang optimal saat memasuki proses ta’aruf dan bisa melakukan penjagaan diri sehingga Allah memberkahinya. Untuk itu, bersihkan niat anda dengan menjaga kebaikan diri anda dan segeralah melakukan aktivitas selanjutnya. Berikut ini sebuah manajemen ta’aruf yang sekaligus sebagai pengalaman saya sebagai penulis saat melakukan proses ta’aruf hingga pernikahan itu dilaksanakan.


1.           Menentukan Batas Waktu Kesiapan

Dalam melakukan persiapan secara maksimal, sebaiknya laki-laki dan perempuan memiliki perhitungan yang matang kapan saatnya menikah dan menentukan kapan proses ta’aruf itu akan dimulai. Dengan perhitungan tersebut diharapkan akan ada pertimbangan yang ilmiah dan realistis terhadap keputusan dalam menentukan pilihan hidup. Jika batas waktu kesiapan untuk menikah masih cukup lama, maka sebaiknya bisa menjaga diri dengan baik dan tidak memutuskan untuk melakukan proses ta’aruf. Tapi, apabila batas waktu itu sudah dekat, maka bersegeralah untuk melakukan proses berikutnya yaitu proses ta’aruf dengan sungguh-sungguh dengan niat Lillahita’ala.

Perkara menentukan batas waktu terkait dengan kesiapan kita untuk menikah dan melakukan proses ta’aruf bukanlah sebuah hal yang main-main dan biasa, melainkan sebuah hal yang luar biasa karena disitu terdapat ujian mental dan keyakinan untuk kita memutuskan sikap terkait dengan pilihan hidup. Maka dari itu kita membutuhkan manajemen dari proses yang kita lakukan. Dalam ilmu manajemen kita mengenal berbagai perangkat perencanaan dan evaluasi yang bisa digunakan membantu kegiatan-kegiatan keseharian, manajemen itu kita kenal dengan sebutan Manajemen SWOT (strength, weakness, opportunities, dan treaths). Dengan manajemen tersebut kita bisa mencari titik-titik kekuatan yang kita miliki, kelemahan, peluang dan tantangan, sehingga anda bisa menentukan kekuatan dan kelemahan apa yang saat ini dimiliki untuk menuju ke gerbang pernikahan.

Dengan manajemen SWOT tersebut Anda bisa membuat perencanaan kapan Anda akan melaksanakan pernikahan dan tentunya bisa segera memutuskan kapan akan melakukan proses ta’aruf. Misalnya hasil dari sebuah SWOT yang anda lakukan, Anda baru siap menikah paling cepat dua tahun lagi dari sekarang. Jika itu adalah keputusannya, maka menjalin hubungan dengan seseorang untuk menjadi calon istri atau suami Anda dari sekarang adalah perbuatan yang cenderung mendatangkan fitnah dan kemudharatan. Mengapa? Sebab kalaupun anda menjalin hubungan dari sekarang dan anda akan menikah masih dua tahun lagi atau bahkan lebih lama dari itu. Sementara itu tidak ada jaminan bahwa hubungan yang anda jalin dari sekarang akan membawa kabaikan dalam keluarga nantinya.

Sebaiknya Anda tidak terfokuskan untuk mencari pasangan hidup saat ini. Lebih baik Anda memfokuskan diri untuk melakukan perbekalan dan tentunya pembinaan biri, termasuk dalam hal ini menyiapkan peluang-peluang menjadi kekuatan, sehingga anda memiliki kesiapan yang lebih baik untuk menuju gerbang pernikahan. Anda tidak perlu khawatir bahwa kalau tidak mendapatkan pasangan hidup dari sekarang, nanti akan tidak laku atau tidak mendapatkan jodoh. Alasan inilah yang sering menyebabkan kalangan pemuda atau pemudi dan bahkah tak jarang aktivis dakwah mengambil pilihan pacaran agar memiliki kepastian calon suami atau istri.

Jika saat ini Anda telah memiliki kesiapan cukup baik sehingga berani memutuskan untuk menikah setengah tahun lagi atau dalam satu tahun ini, maka sudah layak bagi anda untuk berfikir mengenai calon pendamping anda. Anda sudah mulai mencurahkan perhatian dan melakukan berbagai usaha yang sejalan dengan semangat Islam untuk mendapatkan calon suami atau istri sesuai kriteria yaitu melalui proses ta’aruf, dan semoga itu adalah sebuah jalan yang baik.

Dengan demikian penentuan batas waktu kesiapan ini sangat penting untuk menentukan, kapan saatnya Anda harus memulai mencari calon pendamping hidup. Jika anda tidak menentukan batas waktu, tidak akan ada kejelasan mengenai status hubungan yang anda jalin dengan seseorang untuk menempuh hidup berkeluarga dan justru anda akan terjebak dalam ketidakpastian dan akan terjerumus dalam kemudharatan, sehingga berkah Allah tidak bisa kita rasakan.

Akhirnya, setelah menentukan batas kesiapan untuk menikah dan penentuan waktu untuk memulai proses ta’aruf, penjagaan diri harus senantiasa dilakukan oleh kedua belah pihak agar aman dari fitnaf, dan penjagaan ini bisa dilakukan dengan proses pembinaan diri dan tetap berada pada komunitas orang-orang baik yang sholeh. Pembahasan tentang penjagaan proses ta’aruf akan kita bahas lebih lengkap pada pembahasan selanjutnya.


2.           Berkomunikasi dengan Orang Sholeh
Sebuah proses yang baik dan terjaga akan mengundang keberkahan dari Allah swt dengan diberikannya sakinah mawaddah wa rahmah dalam sebuah rumah tangga. Maka dari itu, dalam sebuah proses ta’aruf agar tidak terjebak ke dalam keinginan nafsu semata, hendaknya yang bersangkutan melakukan komunikasi dengan orang-orang sholeh dalam memantapkan pilihan untuk menikah dan menentukan pasangan hidup. Terkhusus dalam hal ini adalah komunikasi dengan orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan pengorbanan dan penuh kasih sayang. Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena orang tua adalah yang memiliki hak perwalian pada pernikahan anak-anaknya dan tentunya do’a dan restu orang tualah yang kita harapkan dalam sebuah proses ta’aruf hingga pernikahan, tanpa do’a dan restu dari orang tua tentunya kebahagiaan kita belum sempurna dan bisa jadi kita menjadi anak yang durhaka kepada orang tua.

Disisi lain, sekarang banyak kalangan orang tua yang tidak memahami agama sehingga memiliki orientasi yang kurang tepat dalam pernikahan anak-anaknya. Pada saat seperti inilah, selain meminta pendapat dan istiyarah dengan orang tua dan keluarga, anda perlu berkomunikasi dalam rangka meminta pendapat (musyawarah) kepada orang sholeh seperti murabbi / guru, teman atau yang lainnya dan tentunya yang amanah dan paham.

Begitu pentingnya komunikasi (musyawarah) itu harus senantiasa dilakukan, sehingga Umar bin Khattab r.a pernah mengatakan, “Tidak ada kebaikan yang kuat pada suatu perkara yang dilakukan tanpa proses musyawarah.” Hasan Al-Basri mengatakan, “Tiada suatu kaum yang melakukan musyawarah kecuali urusan mereka akan mendapatkan petunjuk.” Sebagian yang lainnya, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, mengatakan, “Bermusyawarahlah dengan orang yang mempunyai pengalaman, sebab ia akan memberikan pendapatnya tentang apa yang biasa terjadi, sedang angkau mengambil pendapat itu secara Cuma-Cuma.”

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menyebutkan tujuh manfaat dari musyawarah, yaitu dapat mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga diri dari kekeliruan, menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati dan mengikuti atsar. Sedangkan Abu Salim Muhammad bin Thalhah menyebutkan manfaat musyawarah diantaranya menguatkan tekad, memberikan keberuntungan, memperjelas yang haq, memperluas udzur dan menjauhkan penyesalan.

3.           Menentukan Pilihan

Menentukan pilihan sebaiknya dilakukan setelah ada kesiapan diri, dengan sebuah perhitungan waktu yang realistis. Tentunya dalam menentukan pilihan ini pertimbangan agama harus menjadi dasar pertama, sebelum pertimbangan kecantikan atau ketampanan, kedudukan atau keturunan, dan kekayaan. Untuk mengetahui kondisi masing-masing pihak bisa diketahui dalam perjalanan proses ta’aruf, salah satunya bisa secara langsung atau melalui orang lain yang dipercaya kebaikannya.


Dalam penentuan calon suami ataupun istri tentunya harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan penerimaan yang utuh, tidak ada paksaan dan keterpaksaan serta meluruskan niat,  sehingga tidak ada penyesalan ataupun kekecewaan dibelakang hari.


BERSAMBUNGGGGGG