Rabu, 14 Januari 2015

Jatuh CINTA sebelum proses TA'ARUF

Jatuh cinta adalah anugerah dari Allah, sehingga wajar bagi siapa saja yang mengalaminya, siapapun dia. Sebagaimana perasaan hati yang lain seperti marah, malu, gembira, bahagia, sedih dan kecewa, jatuh cinta bisa datang begitu saja. Jatuh cinta adalah perasaan yang sangat fitri. Ia sengaja dibekalkan Allah kepada setiap hamba-Nya agar keseimbangan dan keharmonisan alam ini berjalan sesuai hukum-Nya. Bayangkanlah, bila rasa cinta itu di cabut oleh Allah Swt. Tak ada lagi perasaan ketertarikan, tak ada lagi dinamika kehidupan. maka akan musnahlah generasi manusia karena masing-masing tak membutuhkan satu dengan lainnya.

Kecendrungan laki-laki kepada wanita, kecendrungan wanita kepada laki-laki, keinginan bersahabat, mencari ketenangan, mendapatkan ketentraman, dan menjadikannya sebagai sandaran sekaligus sebagai penopang dalam hidup adalah fitrah yang telah diciptakan Allah kepada setiap hamba-Nya. Dan untuk mewujudkan semua itu, Allah telah mensyari’atkan jalan yang lurus lagi mulia, yaitu pernikahan. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Kami tidak melihat ada sesuatu yang dapat semakin menguatkan perasaan saling mencintai diantara dua orang melebihi pernikahan.” (HR. Ibnu Majah)

Sesungguhnya, cinta laki-laki kepada perempuan dan cintanya perempuan kepada laki-laki adalah sebuah perasaan yang manusiawi, yang bersumber dari asal fitrah yang diciptakan Allah Swt di dalam jiwa setiap manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikir dan fisik. Kecenderungan ini beserta perasaan cinta yang mengikutinya bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian itu tergantung pada bingkai tempat bertolaknya.

Jadi, ada bingkai yang suci dan halal serta ada pula bingkai yang kotor dan haram. Artinya, cinta itu menjadi baik jika tujuannya baik, yaitu pernikahan. Tapi bila tujuan jatuh cinta itu hanya untuk bersenang-senang atau hanya untuk memenuhi nafsu belaka tanpa mempunyai target serta ketetapan hati yang jelas kapan akan menikah, maka itulah yang dimaksud dengan bingkai yang kotor dan haram.

Itulah yang di sebut dengan cinta. Ia merupakan ujian bagi orang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah. Bila jatuh cinta maka bertanyalah kepada hati konsekuensi dan tanggungjawab sekuat apa yang sanggup kita pikul. Bila muara dari perasaan cinta itu adalah pernikahan dan kita yakin dengannya, maka berjuanglah agar Allah mempermudah kita untuk mencari ridha-Nya dengan pernikahan yang berkah. Akan tetapi, bila hati kita diliputi kegamangan, keraguan dan syak wasangka akan ketetapan diri melangkah di jalan pernikahan, maka yakinlah bahwa memperbaiki problema internal itu jauh lebih diperlukan dari pada merawat perasaan jatuh cinta dan membiarkannya menjadi sesuatu hal yang dapat menyakiti hati.

Jadi, tidak ada salahnya bila anda di ta’arufkan dengan seseorang yang kebetulan Anda sudah memiliki rasa tertentu (kagum, hormat, mendamba, atau sekalipun jatuh cinta) kepadanya. Apabila Anda menganggap itu adalah rezeki dari Allah. Maka bersyukurlah, karena barang siapa bersyukur, Allah akan tambah nikmat-Nya. Ekspresikan rasa syukur itu dengan berjalan tetap di bingkai-Nya. Jangan menjadikan nikmat itu berbalik menjadi kesombongan dan lupa diri, karena dua hal tersebut akan membuat nikmat-Nya menjauhi Anda. Ekspresi dan gaya bicara dalam ta’aruf juga jangan kemudian menjadi berlebihan karena Anda sudah jatuh cinta terlebih dahulu kepadanya.

Begitu pun, kalau Anda sudah jatuh cinta dengan seseorang tetapi tak ada jalan untuk mempertemukan Anda dengannya atau Anda belum ada kesiapan untuk menikah, maka tetaplah Anda dalam posisi bersyukur. Berharaplah Anda menjadi golongan yang tertulis di dalam hadits yang di kutib oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Manajemen Cinta berikut ini, “Barangsiapa sangat mencintai seseorang kemudian ia tetap menjaga diri dari perbuatan dosa dan menyimpan cintanya sampai ia mati karenanya, maka ia telah mati syahid.” (HR. Hakim, Hatib Ibnu Asyakir dan Dailami)

Tetapi bila anda tidak didahului oleh perasaan jatuh cinta ketika ta’aruf dengan calon pasangan, Anda juga harus senantiasa berada dalam posisi bersyukur. Bukankah sangat sedikit orang yang melakukan ta’aruf dengan bingkai syari’at di bandingkan mereka yang menjadikan ta’aruf sebagai kedok untuk bermaksiat? Yakinlah bahwa kesejatian cinta yang tanpa hijab itu akan di dapatkan setelah seseorang menikah dan tak ada proses apapun yang bisa mengalahkan pernikahan dalam merasakan kesejatian cinta. Rasulullah Saw bersabda:

Barangsiapa yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (HR. Ahmad)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar