Selasa, 13 Januari 2015

CINTAnya sampai ke SURGA


Bismillahirrahmanirrahim…
Sebuah kisah nyata, persembahan terbaik untuk sahabatku yang saat ini telah berada di surga bersama bidadari-bidadari yang Allah janjikan untuk setiap hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, insyaAllah…

Saya mengenalnya sebagai seorang sahabat, sederhana yang luar biasa. Sederhana penampilannya tapi luar biasa akhlaqnya, tegas dan pemberani. Kami pertama kali bertemu di sebuah acara yang diadakan di kampus kami. Saya mengenalnya sebagai seorang pemuda sederhana yang ingin terus memperbaiki diri, maka dari sana saya mulai sering mengajaknya untuk mengikuti kegiatan dakwah di kampus kami. Akhirnya diapun ikut bergabung bersama saya di salah satu lembaga dakwah yang ada di kampus kami.

Perjuangannya sungguh luar biasa, dia yang dulu saya kenal acuh pada kebaikan orang lain, kini dengan semangatnya mengajak orang-orang di sekitarnya untuk sama-sama menjadi lebih baik termasuk pada keluarganya sendiri. Dia yang dulu masih berpacaran, kini benar-benar hijrah berpindah menjadi sosok pemuda yang terjaga pandangan dan hatinya. Pengorbanannya di kampus tak pernah lelah, dengan seperti apapun kondisinya sampai ia mendapatkan amanah sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi dakwah. Banyak hari yang kami lalui di dalam perjuangan ini. Ada tawa, ada air mata, ada debat pendapat, ada saling teguh dengan keyakinan masing-masing, tapi tak jarang saling mengalah dan mendahulukan pun sering kami lakukan.

Kami begitu dekat, layaknya persahabatan Abu Bakar As-Siddiq dengan Umar Ibnu Khattab Al-Faruq. Kami saling mendukung, saling menjaga, saling memotivasi, saling mengingatkan. Saya bersyukur menjadi sahabatnya, dia adalah sahabat yang luar biasa. Inilah indahnya ukhuwah yang Allah berikan kepada kami. Karena setiap cinta dan pengorbanan yang di landaskan karenaNya, maka siapapun yang bergantung padaNya pasti tak akan pernah kecewa.

Ujian persahabatan itupun akhirnya datang. Tepatnya ketika saya bersama teman-teman melakukan musyawarah untuk menggantikan posisi beliau sebagai ketua umum dari lembaga dakwah yang ada di kampus kami yang sebelumnya saya sebagai pemimpinnya. Bagaikan petir disiang bolong kami dengar berita bahwa dia masuk rumah sakit. Segera saya bersama teman-teman lainnya berlari menuju rumah sakit menemui sahabat seperjuangan kami itu. Setibanya disana saya lihat tubuhnya terbaring lemah, wajahnya pucat, badannya yang dulu kurus tiba-tiba nampak bengkak. Matanya sayu, namun menatap kami dengan lembut. Senyum pun terurai indah dari mulutnya, dan hari itu saya putuskan untuk menemaninya di rumah sakit.

Tak disangka dibalik dirinya yang kuat, di balik perjuangannya yang tak mengenal lelah, di balik pribadinya yang ramah ternyata ia mengidap penyakit yang ganas. Kanker darah (leukimia) stadium akhir. Hari-hari ku lalui untuk merawatnya, ku mandikan dia, kusuapi dia, dan hal lain yang sekiranya mampu saya lakukan untuk berbagi ujiannya itu. Dia yang dulu kuat dalam dakwah kini hanya terbaring lemah di atas kasur selama beberapa waktu. Tapi meski ia terbaring, tak pernah ku dengar kata keluh keluar dari lisannya, tak henti ia pun melantunkan indahnya ayat Suci Al Qur’an dari suara yang lembut. Masih ku ingat jelas setiap ucapnya, “Sahabatku janganlah lelah berjuang dalam dakwah ini, seperti apapun kondisi kita. Jika ada waktu kita berpisah, tetaplah kuat di jalan Dakwahnya. Karena tugas kita menyeru pada yang HAQ..”. Tak terasa air matapun mengalir dipipi kami masing-masing. Kurang lebih satu bulan ia berbaring lemah, rindu kami untuk berjuang bersama lagi.

Hingga suatu waktu, ia tiba-tiba menunduk malu, aku heran melihatnya begitu. Air matapun kembali mengalir membasahi janggut tipisnya. Ia pun menceritakan sebuah kisahnya yang semakin membuatku mencintainya karena Allah. Ia mengakui sebuah rasa yang seharusnya tak ia rasakan, di balik keterjagaannya ternyata ia menyimpan kekaguman pada seorang akhwat. Akhwat sederhana yang indah akhlaqnya, tapi ia jaga rasa itu hingga tak ada seorangpun yang tahu rasanya itu. Kecuali ia hanya mengadu pada Allah sang pemilik cinta itu. Dari rasa itu mulai timbul sampai sekarang ia tetap menjaga hatinya. Karena ia tahu betul, saat kita memiliki kecenderungan pada lawan jenis, maka jika kita sudah mampu segeralah meminangnya. Namun jika belum mampu, tetaplah terjaga dengan berpuasa.

Ia hanya bertanya apakah mungkin cintanya itu akan nyata sampai ke pernikahan. Mungkinkah  akhwat itu menyimpan hal yang sama padanya. Ia tak berharap hal itu, yang tahu kini ia harus tetap menjaga hatinya. Saya terus memotivasi untuk sembuh, saling berandai-andai tentang pernikahan kami masing-masing. Hingga kalimat sederhana terucap dari lisannya “Mungkinkah waktuku akan sampai pada pernikahan..??”. Aku tersenyum, dan berucap, “Yakinlah sembuh karena engkau pantas menikah dengan seorang akhwat yang sholeha..”. Dia yang sederhana itu telah diuji, badannya menderita karena sakitnya, tapi hatinya tetap penuh kesyukuran. Pernah ku lihat ia merintih kesakitan saat jarum suntik besar sepanjang satu jengkal tangan seorang dokter spesialis penyakit dalam menusuk dadanya, darah pun terambil darinya. Ia hanya tersenyum, tak terasa air mata ini kembali mengalir. Kuatlah sahabatku..

Hingga suatu kesempatan saat giliranku menjaganya, ia memintaku untuk memandikannya. Setelah mandi ia kembali terbaring, dan meminta keluarganya berkumpul. Kalimat yang dimimpikan setiap orang itu keluar dari lisannya pelan, sebuah kalimat yang sebenarnya saat itu tak mau ku dengar darinya. Namun akupun ingin mampu mengucapkannya saat masaku tiba. Kalimat persaksian itu keluar, La illahaillah Muhammad Rasulullah… Perlahan tubuhnya semakin mendingin dan arwah pun berpisah dari jasadnya. Ia kini kembali pada Pemiliknya, ia kembali menemui Rabb kami, Allah Azza Wa Jalla. Air mata kami yang ada di ruang rumah sakit tumpah seketika, aku hanya menatapnya tanpa kedip. Ku lihat ia wafat dalam keadaan tersenyum, keringat pun terlihat keluar dari dahinya. Yah… inilah tanda-tanda seorang wafat dalam keadaan Khusnul Khotimah.

Aku tahu sebabnya, karena ia wafat dalam keadaan tetap terjaga dalam dakwah dan tetap menjaga cintanya. Hanya Allah saja yang tahu.

Hingga suatu waktu setelah almarhum dikebumikan sebuah sms masuk ke ponsel saya, sebuah sms dari seorang akhwat yang tak lain sahabatku sendiri dalam perjuangan dakwah, sms itu berbunyi, “Assalam.. afwan akh.. makasih atas pengorbanan antum selama ini telah merawat almarhum sahabat kita, rasanya kalo ana seorang ikhwan atau adik kandung beliau, tiap hari pasti ana akan bersedia merawatnya. Tapi apa daya ada hijab yang membatasi kami. Kenangan bersama beliau masih begitu lekat di hati masing-masing. Makasih untuk kita saling berbagi suka duka dengan saudaranya. Ada satu keinginan ana yang belum sempat ana berikan untuk beliau, apakah antum mau jadi pengganti beliau atas keinginan ana itu?. Karena antum adalah sahabat terdekat beliau.

Subhanallah baru kali ini ana merasakan ada persaudaraan yang begitu lekat dan rela berkorban apapun untuk saudaranya. Mungkin air mata tak mampu untuk diseka, ana harap kita semua dapat sama-sama bertemu di surga sana dan mati dalam keadaan khusnul khotimah. Afwan sekedar luapan hati… Afwan kalau ana lancang. Wassalam”.

Itulah isi sms dari akhwat itu, hanya air mata yang mengalir selesai membaca sms itu. Kini saya kehilangan saudara seperjuangan, kami kehilangan sosok pendakwah yang gigih dan tak kenal lelah. Kami rindu padamu saudaraku…

Suatu waktu akhwat itu kembali mengirimkan pesan, “ Afwan… Jujur sejak beliau sakit dan tidak lagi ke kampus ana rindu dengan beliau. Banyak kenangan yang ana dapat dari beliau. Salah satunya ketika ana futur, beliau jadi salah satu inspirator bagi ana. Waktu itu beliau baru bangun dari sakit, tapi tak berhenti membaca Al Qur’an. Ana kagum, terus ana ikut tilawah juga di balik hijab tanpa mengubah niat bahwa amalan itu hanya untuk Allah. Afwan akh.. ana tidak ada maksud apa-apa, kecuali menganggap semua orang yang ana kenal sebagai saudara sendiri. Afwan sebenarnya ana malu, tapi kalau ana pendam khawatir jadi penyakit. Afwan… Tolong jaga cerita ini, ana tsiqoh pada antum. Afwan kalau ana salah berbicara. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa ana selama ini, amiinn..”

Pesan itupun berlanjut “ Afwan telah merepotkan antum, beliau memang tidak bisa diganti dengan siapapun. Tapi afwan ana benar-benar telah jatuh hati pada beliau… Afwan…!!”

Dari sms itu saya baru sadar bahwa ternyata akhwat itu memiliki perasaan pada almarhum sahabat  saya. Dan tak disangka akhwat itu adalah akhwat yang disukai oleh almarhum sahabat terbaik saya. Tapi tak ada seorang pun yang tahu.. Almarhum mencintai akhwat itu tapi akhwat itu tak tahu, akhwat itu mencintai almarhum tapi almarhum pun tak tahu. Hanya Allah saja yang tahu bahwa mereka saling mencintai, dan saya menjadi saksi atas cinta yang terjaga itu. Mencintai seseorang tak membuat diri terhanyut dalam lalai, tapi justru ia tetap terjaga dan semakin berkualitas imannya.

Saudaraku engkau memang belum sempat menikah dengan bidadari dunia, tapi telah Allah janjikan bidadari surga untukmu. Mereka yang terjaga dan cantik diri juga akhlaqnya. Engkau lebih pantas berdampingan dengan mereka saudaraku.


Semoga engkau bahagia disana sahabat, aku disini tetap berjuang untuk istiqomah berada di jalan dakwah ini dengan harapan bisa kembali berkumpul bersama di surge. Dan kami akan selalu mengingat pesan dan motivasimu sampai kapanpun, “TETAP SEMANGAT


Kisah ini terdapat dalam buku saya: MELUKIS CINTA MERAIH BAHAGIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar