Selasa, 13 Januari 2015

Ashim dan Zainab


Suatu hari ketika Amirul Mukminin Umar Bin Khattab berkeliling daerah kota Madina, beliau beristirahat sejenak karena kelelahan setelah berjalan seharian. Ketika itu beliau bersandar di sebuah tembok rumah milik salah satu penduduk Madina. Tepatnya ketika itu malam telah beranjak, sebagian pedagang mulai menyiapkan bahan-bahan dagangannya di rumah untuk dijual keesokan harinya. Dan memilik rumah itu adalah penjual susu di pasar.

Terdengar dialog antara seorang ibu dan anak perempuannya yang sedang menyiapkan susu, “ Kenapa tak kau campurkan air pada susu itu agar kita peroleh susu yang lebih banyak dan kita mendapatkan untung yang lebih besar” ucap ibu itu. “ Tidak umi sesungguhnya perbuatan itu dilarang oleh Amirul Mukminin, karena itu merupakan kecurangan” jawab anak perempuan itu. “ Tapi umar tidak ada disini? Dan dia tidak akan tahu!!” ucap ibu itu dengan kesal. “ Iya umi sesungguhnya umar tidak akantahu, tapi Tuhan Umar tahu. Karena Dia tidak pernah tidur, Dia melihat kecurangan kita. Maka Demi Allah umi, aku tak mau melakukan kecurangan. Aku takut akan azab Allah”

Mendengar dialog antara ibu dan anak perempuan itu Umar segera beranjak dari tempatnya bersandar, dan memimta Aslam pembantu yang menemaninya ketika berkeliling itu untuk mencari tahu informasi tentang penduduk pemilik rumah itu. “ Wahai Aslam, apakah kau dengar percakapan mereka tadi?” Tanya Umar. “ Tentu ya Amirul mukminin…!!” jawab Aslam.

“ Carilah informasi tentang mereka, besok kita akan kembali lagi kesini untuk mengunjungi mereka” ucap Amirul Mu’minin kepada Aslam
Mendengar perintah Pemimpinnya itu, Aslam segera mencari informasi mengenai ibu dan anak itu. Dan segera menyampaikan informasi yang dia peroleh kepada Amirul Mukminin.

Setelah mendengar informasi dari Aslam, Umar Bin Khattab menaruh simpatik kepada anak perempuan ibu itu. Kemudian beliaupun menceritakan hal ini pada Ashim anaknya. Mendengar cerita dari Ayahandanya Ashim hanya tertunduk. Melihat anaknya seperti itu Umar pun bingung, “ Wahai Ashim apa yang membuatmu tertunduk seperti itu? Apakah kau tertarik dengan anak perempuan yang aku ceritakan padamu?” Tanya Umar. Mendengar pertanyaan dari ayahnya itu, Ashim hanya mengangguk. Umar pun tersenyum melihat sikap anaknya itu.

Keesokan harinya Umar ditemani anaknya Ashim dan Pelayannya Aslam kembali ke rumah wanita penjual susu itu. Setibanya di depan pintu rumah itu beliaupun segera mengetuk pintu dan memberikan salam.

“ Assalamu’alaikum…”
“ Wa’alaikumsalam…” jawab pemilik rumah itu sambil tergopoh-gopoh menuju pintu. Dilihatnya Amirul Mukminin dan dua orang pria dibelakang yang mengunjunginya. “ Bolehkah kami masuk…?” Tanya umar pada wanita itu.
“ Tentu… silakan masuk ya Amirul mukminin…” jawab wanita itu sambil mempersilakan Amirul Mukminin dan dua orang dibelakangnya untuk masuk.

Melihat kedatangan Pemimpinnya, ibu itu menjadi heran, “ Ada apa ya amirul mukminin anda mengunjungi kami? Sesungguhnya kami dalam keadaan kecukupan tidak kekurangan apapun” Tanya ibu itu dengan nada gugup dan takut.”

“ Sesungguhnya aku datang kemari bukan untuk urusan itu, cepat bawa anak perempuanmu kemari” jawab Umar. “ Ya Amirul mukminin” jawab ibu itu dengan tergesa-gesa menuju kamar anak perempuannya itu.
Setelah menunggu beberapa saat, wanita itu keluar dengan anak perempuannya yang memakai cadar untuk menutupi wajah. “ Ini anak perempuan saya…”

“ Sesungguhnya kemarin malam setelah berkeliling kota bersama Aslam aku kelelahan. Dan beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah dengan bersandar di tembok rumahmu. Saat itu aku mendengar percakapan anda dan anakmu tentang susu yang akan kalian jual. Sesungguhnya engkau telah berbuat kecurangan” ucap Umar pada perempuan itu.

“ Aku bertobat ya Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak akan melakukan itu lagi. Aku menyesal telah melakukan itu” jawab wanita itu dengar nada penuh ketakutan. “ Syukurlah… segeralah bertobat, karena azab Allah itu sungguh pedih”. “ Ya amirul mukminin, terima kasih sudah mengingatkan kami. Oh iya ada apa anda kemari” Tanya wanita itu. “Siapa nama anakmu? Apa dia sudah menikah?” jawab Umar. “ Namanya Zainab, dan dia belum menikah” jawab wanita itu dengan antusias.

Sambil menarik Ashim anaknya kesisinya, Umar pun berkata “ Ini Ashim anakku, sesungguhnya aku kemarin menceritakan tentang kalian padanya. Mendengar ceritaku itu anakku sepertinya memiliki ketertarikan pada putrimu. Dan jika dia setuju, maka kalian bisa saling memandang. Jika setuju, maka kalian akan aku nikahkan”.

Zainab membuka cadarnya tapi ia hanya tertunduk, dan Ashim pun memandang wajah Zainab sejenak kemudian segera menundukan pandangannya kembali. Umar pun tersenyum melihat sikap anaknya itu. “Wahai zainab mengapa kau tak melihat ke arah anakku, apa kau tidak bersedia menikah dengan anakku?” Tanya Umar heran. Zainab pun mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Ashim, mereka pun saling berpandangan. Kemudian kembali menundukan pandangan, sambil tersenyum tipis karena malu.
“ Dia diam saja, tentu saja dia bersedia menikah dengan anak anda wahai amirul mukminin…” jawab ibu itusambil memegang pundak putrinya. “ Siapa yang tidak mau menikah dengan anak seorang Amirul Mukminin” tambah ibu itu dengan semangatnya

“ Jangan pandang aku Amirul Mukminin, sesungguhnya saat ini aku hanya seorang ayah yang sedang mencarikan istri untuk anak laki-lakiku. Dan kami adalah orang miskin” Jawab umar.

Setelah kejadian itu, akhirnya Ashim dan Zainab pun menikah. Seorang wanita biasa dari keluarga sederhana, menikah dengan anak seorang Pemimpin Umat karena ketakutannya kepada Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ia menjaga sikap dan selalu berusaha jujur dalam berjualan, sehingga ia pantas mendampingi seorang pria sholeh anak dari seorang Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang dikenal sebagai memimpim yang tegas, adil namun begitu lembut hatinya.



Sumber: Film Umar Ibn Khattab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar