Jumat, 16 Januari 2015

Cara CERDAS Menjemput JODOH "Ikhtiar CINTA yang Syar'i"



Dalam kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan beberapa kisah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentang bagaimana cara mendapatkan jodoh;

Pertama, kejadian yang dialami oleh Ummu Sulaim tatkala dipinang oleh Abu Thalhah yang tidak beragama Islam saat itu. Ketika dipinang, Ummu Sulaim menjawab, “Ya Abu Thalhah, orang seperti kamu tidak selayaknya untuk ditolak pinangannya. Sayang, engkau adalah seorang lelaki kafir sedangkan aku perempuan muslimah. Ya Abu Thalhah tidak halal bagiku menikah dengan mu, namun jika engkau bersedia masuk agama Islam, maka cukuplah itu sebagai mahar bagiku.”

Ternyata Abu Thalhah bersedia masuk Islam, dan inilah yang menjadi mahar pernikahan Ummu Sulaim. Tsabit r.a berkata, “Aku belum pernah mendengar seorang perempuan yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim” (Nasa’I, dari Tsabit)

Keputusan yang diambil oleh Abu Thalhah amat melegakan hati Ummu Sulaim, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan demikian konsistensi Ummu Sulaim terhadap landasan agama sebagai tolak ukur menilai kebaikan seseorang. Sebagai mu’alaf yang baru saja masuk Islam, tentu saja keislamannya tidak bisa disejajarkan dengan kualitas para sahabat yang lebih dulu masuk Islam. Akan tetapi kesediaan Abu Thalhah untuk berproses dalam kebaikan, cukup menjadi jaminan bahwa pada saatnya nanti ia akan tumbuh dalam celupan Islam yang kokoh. Terbukti, sejarah mencatat bahwa Abu Thalhah akhirnya menjadi sahabat Nabi yang setia dalam kebaikan Islam hingga syahid menjemputnya.

Kedua, Rasulullah Saw pernah menikahkan sahabatnya.

Hal ini terjadi ketika Rasulullah berdialog dengan ‘Ukaf yang masih bujang padahal saat itu ia mempunyai kemampuan untuk menikah. Tatkala Rasulullah Saw menganjurkan ia untuk menikah, maka ‘Ukaf menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.”

“Kalau begitu, dengan nama Allah dan berkahNya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum Al-Khumairi” (HR. Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar).

Sebuah pembelajaran yang dapat kita ambil dalam kisah ini adalah bahwa Nabi Saw memilihkan dan menjodohkan ‘Ukaf dengan Kultsum Al-Khumairi. Ini menunjukkan suatu contoh dimana proses mendapatkan jodoh bisa melalui seorang pemimpin, tatkala memang urusan itu diserahkan kepada pemimpinnya. Nabi dengan hak yang dimilikinya menjodohkan seorang sahabat dengan sahabiyatnya. Contoh seperti inilah yang banyak terjadi dalam sejarah Islam.

Rasulullah Saw bukan saja seorang Nabi, namun beliau adalah pemimpin bagi seluruh kaum Muslim. Lantas bagaimana konteks di zaman sekarang? Tentunya seorang pemimpin jamaah atau organisasi Islam, bisa memproseskan pernikahan anggotanya jika yang bersangkutan menginginkannya tanpa ada keterpaksaan atau paksaan dari pihak yang lain.

Ketiga, tentang sikap orang tua yang aktif mencarikan suami bagi anak perempuannya. Hal ini dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika aktif menawarkan anak perempuannya, Hafshah, setelah suami Hafshah syahid di medan Uhud, untuk dinikahi para sahabat-sahabat mulia. Suatu saat Umar bin Khattab menawarkan kepada Utsman bin Affan r.a, “Ya Umar berilah aku waktu untuk berfikir,” demikian jawab Utsman.

Selang beberapa hari Utsman menyampaikan jawabannya, “Ya Umar, rasanya belum tiba saatnya bagiku untuk menikah.” Kemudian Umar menawarkan kepada Abu Bakar ra. Ternyata Abu Bakar hanya diam saja, dan ini membuat Umar merasa tersinggung. Ia kemudian menghadap Rasulullah Saw menyampaikan sikap Utsman dan Abu Bakar atas tawarannya. Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah menjodohkan puterimu dengan orang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman diberi jodoh yang lebih baik dari puterimu.”

Akhirnya Hafshah dinikahi oleh Rasulullah dan Utsman diambil menantu oleh Rasulullah Saw dinikahkan dengan Ummu Kultsum puteri beliau. Setelah Rasulullah Saw menikahi Hafshah, Abu Bakar datang kepada Umar sembari berkata, “Ya Umar, bukankah ketika engkau menawarkan puterimu kepadaku, aku sama sekali tidak memberikan jawaban sedikitpun?”

“Benar,” jawab Umar. “Wahai Umar, sebenarnya tidak ada halangan bagiku menerima tawaranmu, hanya saja aku pernah mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut puterimu. Aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Saw. Tetapi bila Rasulullah menolak tawaranmu, tentu aku bersedia menikahi puterimu,” jawab Abu Bakar (HR. Bukhari).

Subhanallah, sebagai pembelajaran dalam kisah ini kita melihat Umar bin Khattab sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Pada kisah ini juga kita menyaksikan jawaban dan sikap yang menarik dari Abu Bakar atas tawaran Umar. Bukan ia menolak menikahi Hafshah, akan tetapi Abu Bakar pernah mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut nama Hafshah.  Disinilah kepakaan hati dan perasaan Abu Bakar sebagai sahabat serta kedekatannya dengan Rasul cukup memberikan pengetahuan kepada-Nya bahwa “Rasul Saw menginginkan Hafshah,”maka dalam pandangan dan logika Abu Bakar, “Bila Rasulullah menolak tawaranmu, tentu aku bersedia menikahi puterimu.”

Lantas bagaimana dengan konteks zaman sekarang, bisakah orang tua aktif mencarikan calon pendamping untuk anak perempuannya? Tentu hal ini boleh, akan tetapi dalam memutuskan tetaplah harus meminta persetujuan anak perempuan yang bersangkutan agar tidak menimbulkan kekecewaan dalam diri seorang anak khususnya. Dalam konteks yang sedikit berbeda, boleh juga orang-orang yang sholeh yang dipercaya untuk mencarikan calon suami atau isteri bagi seseorang.

Keempat, Wanita Aktif Mencari Jodoh

Pada zaman Rasulullah ada seorang sahabiyah mencari sendiri calon suaminya, dengan menawarkan dirinya kepada laki-laki paling saleh, Nabi Saw. Anas berkata, Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya berkata: wahai Rasulullah, apakah engkau berhasyrat kepadaku? dalam satu riwayat yang lain disebutkan, wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang hendak menyerahkan diriku kepadaMu.”

Ada juga sebuah kisah yang terjadi ketika Siti Khadijah ra menyatakan hasyratnya  untuk menikah dengan Rasulullah Saw. Menurut riwayat Ibnul Atsir  dan Ibnu Hisyam, bahwa Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya raya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi Muhammad SAW dan kemuliaan akhlaqnya. Khadijah mencoba memberi amanah kepada Nabi Muhammad SAW dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syria, Lebanon dan Yordania).

Khodijah membawakan barang dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad SAW ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khodijah. Nabi Muhammad SAW menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khodijah. Khadijah tertarik pada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan  Nabi Muhammad SAW. Khadijah kemudian menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan Nabi dengan perantara Nafisah binti Muniyah. Nabi Muhammad SAW menyetujuinya, kemudian nabi menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khodijah untuk Nabi Muhammad SAW dari paman Khodijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW Khodijah pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’dz at-tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at- Tamimi, namanya Hindun bin Zurarah.

Dalam konteks kehidupan kita saat ini, boleh saja seorang wanita mencari calon suaminya. Walaupun hal ini biasanya terkendala oleh kultur atau budaya masyarakat, akan tetapi sesungguhnya bukan merupakan hal yang bersifat aib atau tercela. Yang penting teknisnya dilakukan dengan jalan yang bijak dan sesuai dengan fitrah wanita.

Dalam kitab An-Nikah karangan imam Bukhari menerangkan bahwa, “Tiada kehinaan bagi yang memulai kebaikan, laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam hal melamar”. Tsabit al-Bunnani berkata, “Aku berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah aku datang hendak memberikan diriku padamu.” Maka putri Anas berkata, “Betapa sedikitnya perasaan malunya” lalu Anas berkata, “Dia lebih baik dari pada engkau, karena dia menginginkan Nabi Saw, lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Bukhari)

Dari hadits diatas Ibnu Daqiqil 'Id berkata, Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan diperbolehkan wanita menawarkan dirinya kepada orang yang diharapkan berkahnya, namun harus memperhatikan beberapa hal berikut ini :

1)      Lelaki yang Baik agamanya dan mampu menjaga ‘Izzah seorang wanita (Jika dia pria baik, maka akan menerima dengan baik atau menolak dengan baik pula. Sehingga, harkat dan martabat perempuan tetap terpelihara.)
2)      Shaleh dan untuk berjuang di jalan Allah bukan untuk perbuatan yang tercela.
3)      Menempatkan atas agamanya, bukan pada Nafsu
4)      Lebih Ahsan(baik) bila menggunakan perantara yang amanah , seperti ( Orangtua, murabbi, Guru, Sahabat, dll)

Akhirnya, dari beberapa kisah yang telah kita pelajari bersama diatas, tanpak berbagai cara yang bisa di tempuh untuk mendapatkan jodoh dalam melaksanakan pernikahan. Ada sahabat yang dicarikan pasangan hidupnya oleh Nabi Saw, ada sahabat yang mencari sendiri calon istrinya, ada yang dicarikan oleh orang tuanya dan ada pula wanita yang menawarkan dirinya kepada laki-laki shaleh serta ada juga yang melalui perantara  orang lain.

Lantas sebuah pertanyaan untuk sahabat semua yang menginginkan proses pernikahannya terhindar dari fitnah dan mengharapkan berkah, “Cara yang mana yang akan anda tempuh untuk mewujudkan rencana pernikahan anda?”

Maka dari itu, saya ingin menyampaikan, apapun pilihan yang anda putuskan, hendaknya dipertimbangkan tentang  aspek kemanfaatan dan kemudharatannya yang paling minim  di dalam proses tersebut. Tidak boleh melakukan aktivitas yang jelas-jelas terlarang oleh syari’at seperti berdua-duaan di tempat sepi, berpegang-pegangan tangan atau anggota tubuh lainnya untuk mendapatkan kenikmatan dan kesenangan syahwat dalam pemilihan jodoh, atau justru memutuskan berpacaran dengan dalih supaya saling mengenal yang sebenarnya dalam syari’at Islam tidak ada yang menganjurkannya karena proses pacaran adalah salah satu jalan yang paling efektif untuk bermaksiat kepada Allah Swt.


Untuk mengakhiri pembahasan ini, proses pernikahan (Proses ta’aruf) yang anda lakukan harus terjaga dan mengundang datangnya berkah dari Allah Swt karena pada dasarnya proses yang anda lakukan adalah sebuah rangkaian amal ibadah sehingga diharapkan mempunyai nilai-nilai kebaikan (Dakwah) sebagaimana proses pernikahan yang Rasulullah dan para sahabat serta orang-orang yang beriman lakukan.

SEMOGA BERMANFAAT, SILAKAN DI SHARE YA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar