Dalam
kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan beberapa kisah yang terjadi
pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentang bagaimana cara mendapatkan
jodoh;
Pertama,
kejadian yang dialami oleh Ummu Sulaim tatkala dipinang oleh Abu Thalhah yang
tidak beragama Islam saat itu. Ketika dipinang, Ummu Sulaim menjawab, “Ya Abu
Thalhah, orang seperti kamu tidak selayaknya untuk ditolak pinangannya. Sayang,
engkau adalah seorang lelaki kafir sedangkan aku perempuan muslimah. Ya Abu
Thalhah tidak halal bagiku menikah dengan mu, namun jika engkau bersedia masuk
agama Islam, maka cukuplah itu sebagai mahar bagiku.”
Ternyata Abu Thalhah bersedia masuk Islam, dan inilah yang
menjadi mahar pernikahan Ummu Sulaim. Tsabit r.a berkata, “Aku belum pernah mendengar seorang perempuan yang lebih mulia maharnya
daripada Ummu Sulaim” (Nasa’I, dari Tsabit)
Keputusan yang diambil oleh Abu Thalhah amat melegakan hati
Ummu Sulaim, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan
demikian konsistensi Ummu Sulaim terhadap landasan agama sebagai tolak ukur
menilai kebaikan seseorang. Sebagai mu’alaf yang baru saja masuk Islam, tentu
saja keislamannya tidak bisa disejajarkan dengan kualitas para sahabat yang
lebih dulu masuk Islam. Akan tetapi kesediaan Abu Thalhah untuk berproses dalam
kebaikan, cukup menjadi jaminan bahwa pada saatnya nanti ia akan tumbuh dalam
celupan Islam yang kokoh. Terbukti, sejarah mencatat bahwa Abu Thalhah akhirnya
menjadi sahabat Nabi yang setia dalam kebaikan Islam hingga syahid
menjemputnya.
Kedua, Rasulullah Saw pernah menikahkan sahabatnya.
Hal ini terjadi ketika Rasulullah berdialog dengan ‘Ukaf
yang masih bujang padahal saat itu ia mempunyai kemampuan untuk menikah.
Tatkala Rasulullah Saw menganjurkan ia untuk menikah, maka ‘Ukaf menjawab,
“Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau menikahkan aku
dengan orang yang engkau sukai.”
“Kalau begitu, dengan nama Allah dan
berkahNya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum Al-Khumairi” (HR.
Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar).
Sebuah pembelajaran yang dapat kita ambil dalam kisah ini
adalah bahwa Nabi Saw memilihkan dan menjodohkan ‘Ukaf dengan Kultsum
Al-Khumairi. Ini menunjukkan suatu contoh dimana proses mendapatkan jodoh bisa
melalui seorang pemimpin, tatkala memang urusan itu diserahkan kepada
pemimpinnya. Nabi dengan hak yang dimilikinya menjodohkan seorang sahabat
dengan sahabiyatnya. Contoh seperti inilah yang banyak terjadi dalam sejarah
Islam.
Rasulullah Saw bukan saja seorang Nabi, namun beliau adalah
pemimpin bagi seluruh kaum Muslim. Lantas bagaimana konteks di zaman sekarang?
Tentunya seorang pemimpin jamaah atau organisasi Islam, bisa memproseskan
pernikahan anggotanya jika yang bersangkutan menginginkannya tanpa ada
keterpaksaan atau paksaan dari pihak yang lain.
Ketiga,
tentang sikap orang tua yang aktif mencarikan suami bagi anak perempuannya. Hal
ini dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika aktif menawarkan anak perempuannya,
Hafshah, setelah suami Hafshah syahid di medan Uhud, untuk dinikahi para
sahabat-sahabat mulia. Suatu saat Umar bin Khattab menawarkan kepada Utsman bin
Affan r.a, “Ya Umar berilah aku waktu untuk berfikir,” demikian jawab
Utsman.
Selang beberapa hari Utsman menyampaikan jawabannya, “Ya
Umar, rasanya belum tiba saatnya bagiku untuk menikah.” Kemudian Umar
menawarkan kepada Abu Bakar ra. Ternyata Abu Bakar hanya diam saja, dan ini
membuat Umar merasa tersinggung. Ia kemudian menghadap Rasulullah Saw
menyampaikan sikap Utsman dan Abu Bakar atas tawarannya. Rasulullah Saw
bersabda, “Semoga Allah menjodohkan puterimu dengan orang yang lebih baik dari
Utsman, dan Utsman diberi jodoh yang lebih baik dari puterimu.”
Akhirnya Hafshah dinikahi oleh Rasulullah dan Utsman diambil
menantu oleh Rasulullah Saw dinikahkan dengan Ummu Kultsum puteri beliau.
Setelah Rasulullah Saw menikahi Hafshah, Abu Bakar datang kepada Umar sembari
berkata, “Ya Umar, bukankah ketika engkau menawarkan puterimu kepadaku, aku sama
sekali tidak memberikan jawaban sedikitpun?”
“Benar,” jawab
Umar. “Wahai Umar, sebenarnya tidak ada halangan bagiku menerima tawaranmu,
hanya saja aku pernah mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut puterimu. Aku tidak
ingin membuka rahasia Rasulullah Saw. Tetapi bila Rasulullah menolak tawaranmu,
tentu aku bersedia menikahi puterimu,” jawab Abu Bakar (HR. Bukhari).
Subhanallah, sebagai pembelajaran dalam kisah ini kita
melihat Umar bin Khattab sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Pada kisah ini
juga kita menyaksikan jawaban dan sikap yang menarik dari Abu Bakar atas
tawaran Umar. Bukan ia menolak menikahi Hafshah, akan tetapi Abu Bakar pernah
mendengar Rasul Saw menyebut-nyebut nama Hafshah. Disinilah kepakaan hati dan perasaan Abu
Bakar sebagai sahabat serta kedekatannya dengan Rasul cukup memberikan
pengetahuan kepada-Nya bahwa “Rasul Saw menginginkan Hafshah,”maka dalam
pandangan dan logika Abu Bakar, “Bila
Rasulullah menolak tawaranmu, tentu aku bersedia menikahi puterimu.”
Lantas bagaimana dengan konteks zaman sekarang, bisakah
orang tua aktif mencarikan calon pendamping untuk anak perempuannya? Tentu hal
ini boleh, akan tetapi dalam memutuskan tetaplah harus meminta persetujuan anak
perempuan yang bersangkutan agar tidak menimbulkan kekecewaan dalam diri
seorang anak khususnya. Dalam konteks yang sedikit berbeda, boleh juga
orang-orang yang sholeh yang dipercaya untuk mencarikan calon suami atau isteri
bagi seseorang.
Keempat, Wanita
Aktif Mencari Jodoh
Pada zaman Rasulullah ada seorang sahabiyah mencari sendiri
calon suaminya, dengan menawarkan dirinya kepada laki-laki paling saleh, Nabi
Saw. Anas berkata, “Seorang
wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya berkata: wahai
Rasulullah, apakah engkau berhasyrat kepadaku?” dalam satu riwayat yang
lain disebutkan, wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang hendak
menyerahkan diriku kepadaMu.”
Ada juga sebuah kisah yang terjadi ketika Siti Khadijah ra
menyatakan hasyratnya untuk menikah
dengan Rasulullah Saw. Menurut riwayat Ibnul Atsir dan Ibnu Hisyam, bahwa Khadijah adalah
seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya raya. Beliau sering mengirim orang
kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi
Muhammad SAW dan kemuliaan akhlaqnya. Khadijah mencoba memberi amanah kepada
Nabi Muhammad SAW dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina,
Syria, Lebanon dan Yordania).
Khodijah membawakan barang dagangan yang lebih baik dari apa
yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi Muhammad
SAW ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khodijah. Nabi Muhammad SAW menerima
tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah.
Dalam perjalanan ini, Nabi membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga
kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut,
Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku
itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khodijah. Khadijah tertarik pada
kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan Nabi Muhammad SAW. Khadijah kemudian
menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan Nabi dengan perantara Nafisah
binti Muniyah. Nabi Muhammad SAW menyetujuinya, kemudian nabi menyampaikan hal
itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khodijah untuk Nabi
Muhammad SAW dari paman Khodijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi
berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW Khodijah pernah
menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’dz at-tamimi dan yang kedua dengan
Abu Halah at- Tamimi, namanya Hindun bin Zurarah.
Dalam konteks kehidupan kita saat ini, boleh saja seorang
wanita mencari calon suaminya. Walaupun hal ini biasanya terkendala oleh kultur
atau budaya masyarakat, akan tetapi sesungguhnya bukan merupakan hal yang
bersifat aib atau tercela. Yang penting teknisnya dilakukan dengan jalan yang
bijak dan sesuai dengan fitrah wanita.
Dalam kitab An-Nikah karangan imam Bukhari menerangkan
bahwa, “Tiada kehinaan bagi yang memulai kebaikan, laki-laki maupun perempuan
punya hak yang sama dalam hal melamar”. Tsabit al-Bunnani berkata, “Aku
berada di sisi Anas, dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas
berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw menawarkan dirinya seraya
berkata, “Wahai Rasulullah aku datang hendak memberikan diriku padamu.”
Maka putri Anas berkata, “Betapa sedikitnya perasaan malunya”
lalu Anas berkata, “Dia lebih baik dari pada engkau, karena dia menginginkan Nabi Saw,
lalu menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas Ibnu Daqiqil
'Id berkata, “Dalam hadits
tersebut terdapat dalil yang menunjukkan diperbolehkan wanita menawarkan
dirinya kepada orang yang diharapkan berkahnya, namun harus memperhatikan
beberapa hal berikut ini :
1) Lelaki yang Baik agamanya dan mampu menjaga
‘Izzah seorang wanita (Jika dia pria baik, maka akan menerima dengan baik atau
menolak dengan baik pula. Sehingga, harkat dan martabat perempuan tetap
terpelihara.)
2) Shaleh dan untuk berjuang di jalan Allah bukan
untuk perbuatan yang tercela.
3) Menempatkan atas agamanya, bukan pada Nafsu
4) Lebih Ahsan(baik) bila menggunakan perantara yang amanah , seperti ( Orangtua, murabbi, Guru, Sahabat, dll)
Akhirnya, dari beberapa kisah yang telah kita pelajari
bersama diatas, tanpak berbagai cara yang bisa di tempuh untuk mendapatkan
jodoh dalam melaksanakan pernikahan. Ada sahabat yang dicarikan pasangan
hidupnya oleh Nabi Saw, ada sahabat yang mencari sendiri calon istrinya, ada
yang dicarikan oleh orang tuanya dan ada pula wanita yang menawarkan dirinya
kepada laki-laki shaleh serta ada juga yang melalui perantara orang lain.
Lantas sebuah pertanyaan untuk sahabat semua yang
menginginkan proses pernikahannya terhindar dari fitnah dan mengharapkan berkah,
“Cara
yang mana yang akan anda tempuh untuk mewujudkan rencana pernikahan anda?”
Maka dari itu, saya ingin menyampaikan, apapun pilihan yang
anda putuskan, hendaknya dipertimbangkan tentang aspek kemanfaatan dan kemudharatannya yang
paling minim di dalam proses tersebut.
Tidak boleh melakukan aktivitas yang jelas-jelas terlarang oleh syari’at
seperti berdua-duaan di tempat sepi, berpegang-pegangan tangan atau anggota
tubuh lainnya untuk mendapatkan kenikmatan dan kesenangan syahwat dalam
pemilihan jodoh, atau justru memutuskan berpacaran dengan dalih supaya saling
mengenal yang sebenarnya dalam syari’at Islam tidak ada yang menganjurkannya
karena proses pacaran adalah salah satu jalan yang paling efektif untuk
bermaksiat kepada Allah Swt.
Untuk mengakhiri pembahasan ini, proses pernikahan (Proses
ta’aruf) yang anda lakukan harus terjaga dan mengundang datangnya berkah dari
Allah Swt karena pada dasarnya proses yang anda lakukan adalah sebuah rangkaian
amal ibadah sehingga diharapkan mempunyai nilai-nilai kebaikan (Dakwah)
sebagaimana proses pernikahan yang Rasulullah dan para sahabat serta
orang-orang yang beriman lakukan.
SEMOGA BERMANFAAT, SILAKAN DI SHARE YA