Di Kota Moro, ada seorang lelaki yang
biasa dipanggil Nuh bin Maryam. Ia merupakan pemimpin Negara. Kepemimpinannya
penuh dengan kebaikan, berwibawa dan disukai banyak orang. Ia memiliki seorang
putri yang cantik. Banyak para pembesar, pemimpin Negara, dan para hartawan
yang datang untuk meminangnya. Akan tetapi, tiada seorang pun yang berkenan
baginya. Ia pun bingung untuk memilihkan calon suami bagi putrinya.
Nuh bin Maryam memiliki seorang budak
hitam dari India bernama Mubarak. Nuh bin Maryam juga memiliki pohon-pohon dan
beberapa kebun. Suatu ketika, ia berkata pada budaknya itu, “Pergilah
ke kebun-kebunku dan jagalah buah-buahnya.” Budak itupun menuruti
perintahnya dan tinggal di kebunnya selama dua bulan.
Suatu hari,Nuh bin Maryam datang untuk
melihat kebun-kebunnya. Ia duduk di bawah sebuah pohon yang rindang untuk
beristirahat, ujung matanya terus menatap berbagai buah yang sedang ranum. Ia
pun melirik kepada budaknya dan berkata, “Hai Mubarak, beri saya setangkai buah
anggur itu.” Budak itu lekas berlalu, dan kembali kepadanya dengan setangkai
anggur yang dimintanya. Nuh bin Maryam menerima buah itu darinya, tetapi
ternyata buah itu terasa kecut. Ia pun segera bertanya kepada budaknya, “Hai
Mubarak, kamu memberiku anggur yang masih kecut. Beri aku anggur yang lain!”
Mubarak pun segera berlalu untuk kedua
kalinya, dan datang dengan membawa setangkai anggur lainnya. Nuh bin Maryam
segera memakannya dan ia mendapati lagi buah yang terasa kecut. Hampir saja
kemarahannya meletup, kalau saja ia tidak segera bersikap lembut dan tenang. Ia
menatap wajah Mubarak dan berkata, “Mengapa engkau tidak memberiku anggur yang
manis, sedang kebun ini penuh dengan berbagai macam buah anggur?”
Mubarak menjawab dengan polos dan jujur,
“Tuanku, aku tidak tahu mana yang manis dan mana yang kecut.” Kagetlah tuannya
itu mendengar pernyataan Mubarak, bagaimana mungkin tukang kebun tidak bisa
membedakan antara yang manis dan yang kecut. Lalu, ia kembali bertanya kepada
Mubarak, “Engkau sudah dua bulan bekerja di kebun, bagaimana mungkin tidak tahu
yang manis dan yang kecut?”
Mubarak menjelaskan untuk meyakinkan
tuannya, sekaligus bersumpah bahwa ia benar-benar tidak tahu mana yang manis
dan mana yang kecut. Sebab, ia tidak pernah memakan satu biji pun buah yang ada
dalam kebun tersebut. Bertambahlah rasa heran tuannya mendengar penjelasan itu,
sambil berucap, “Engkau belum pernah memakannya? Apa yang membuatmu enggan
untuk memakan buah-buah yang ada di hadapanmu?” Mubarak kembali menjawab
panjang lebar, “Tuan menyuruhku untuk menjaga kebun-kebun ini, tetapi tidak menyuruhku
untuk memakannya. Aku hanya melaksanakan apa yang Tuan perintahkan. Aku tidak
ingin mengkhianati Tuan dan melanggar perintahmu. Tidak ada sesuatu pun yang
bisa disembunyikan dari Allah baik di langit maupun di bumi,”
Nuh bin Maryam terkagum-kagum kepada
sifat wara’, amanah, jujur, dan
keteguhan agama budaknya itu. Ia menundukkan sedikit kepalanya, pikirannya
berputar pada banyak hal, dan akhirnya terpaku pada masalah yang sedang
merundungnya. Lalu, muncullah dalam
pikirannya bahwa anaknya yang cantik, yang menampik para pembesar dan bangsawan
untuk menikahinya, merupakan hadiah terbaik yang patut dipersembahkan kepada
budak jujur dan baik ini. Ia sangat layak mendapatkan gadis cantik ini. Sangat
indah jika disandingkan antara si cantik nan rupawan dengan si jujur yang
amanah. Tetapi, Nuh bin Maryam memohon kepada Allah untuk menjauhkan
akibat-akibat itu jika ada.
Nuh bin Maryam kemudian menoleh kepada
Mubarak dan berkata, “Hai Mubarak, aku memiliki sebuah urusan. Utarakanlah
pendapatmu tentangnya. Sebab, aku melihatmu memiliki ilmu.” Mubarak menjawab,
“Semoga engkau mendapat rahmat wahai Tuanku. Aku hanyalah seorang budak.
Perintahkan apa yang engkau mau dariku, aku akan melaksanakan segala perintahmu
sesuai dengan kemampuanku.”
Nuh bin Maryam berkata lagi, “Baiklah, Aku
memiliki seorang anak gadis. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Allah dalam hal
kecantikan dan kesempurnaannya. Sudah banyak para pembesar, bangsawan, dan
hartawan yang datang untuk meminangnya. Itu membuatku bingung untuk
menikahkannya, siapa yang harus ku pilih. Beri aku pendapat mengenai hal ini.”
Mubarak berkata, “Wahai Tuanku, orang-orang pada
zaman jahiliyah menginginkan keturunan, nazab dan harta. Sementara orang yahudi
dan nasrani menginginkan keindahan dan kecantikan. Sedang pada zaman Rasulullah
Saw, orang-orang menginginkan agama dan ketakwaan. Sementara itu, orang-orang
pada zaman kita menginginkan harta dan kedudukan. Pilihlah untukmu dan untuk
putrimu sesuai yang engkau inginkan.”
Nuh bin Maryam memandangi wajah Mubarak,
ia menemukan perkataan budak itu sebuah hikmah yang tidak bisa diucapkan
kecuali oleh para pujangga dan orang bijak. Hal itu membuatnya bertambah cinta
dan terpikat. Ia berkata kepada Mubarak, “Hai Mubarak, Aku menginginkan orang
yang beragama dan bertakwa.” Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Dan aku
menemukan engkau seorang yang beragama, jujur dan bertakwa. Aku berniat untuk
menikahkanmu dengannya.”
Mubarak menjawab, “Tuanku, aku hanyalah
seorang yang miskin, hitam dan engkau telah membeliku dengan hartamu. Bagaimana
mungkin engkau menikahkan aku dengan puterimu. Bagaimana mungkin ia bisa menerimaku.”
Sebenarnya inilah masalah yang selalu
mengganggu pikiran Nuh bin Maryam. Akan tetapi, ia sudah berjanji kepada puterinya
untuk memilihkan lelaki yang soleh, bertakwa, dan mengesampingkan kecantikan
yang dimiliki anaknya. Oleh karena itu, cita-citanya semakin kuat untuk
mengabulkan keinginan anak gadisnya itu. Keridhaan puterinya untuk menikah
adalah keridhaannya juga.
Nuh bin Maryam lalu menoleh kearah
Mubarak sambil berkata, “Ikut aku!”. Mereka berdua masuk ke rumah Nuh bin
Maryam tanpa pengantar dan tanpa perantara. Nuh berkata kepada puterinya, “Hai
anakku dengarlah, aku melihat anak mudah ini seorang yang bertakwa, jujur dan
soleh. Aku berkeinginan menikahkanmu dengannya, bagaimana menurutmu?”
Anak gadis itu langsung menjawab, “Aku
puterimu, aku serahkan semua urusanku kepadamu. Aku tidak akan pernah
menyalahimu dan menentangmu. Aku ridha sebagaimana engkau ridhai ia untukku.”
Sementara itu ibu gadis itu juga setuju dengan pilihan itu. Singkat cerita
mereka berdua pun menikah. Nuh bin Maryam memberikan kepada puterinya harta
yang banyak dan cukup untuk hidup mereka berdua. Mubarak dan puteri itu hidup
dengan senang dan penuh dengan kebahagiaan dan keridhaan.
Tak lama dari pernikahan ini, mereka
berdua dikaruniahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Kemudian
terkenal dengan nama Abdullah bin Mubarak. Ia sangat di kenal oleh para ulama.
Semoga Allah meridhai Abdullah bin Mubarak dan kita mendapatkan manfaat dari
ilmunya. Itulah buah dari kejujuran yang didahulukan di dunia sebelum nanti di
akhirat.
BERMANFAAT???
Jika bermanfaat silakan di SHARE ya ke Facebook atau sosmed lainnya
Terimakasih semoga sebagai jalan kebaikan untuk kita semuanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar