Bismillahirrahmanirrahim…
Sebuah kisah nyata, persembahan terbaik untuk sahabatku yang
saat ini telah berada di surga bersama bidadari-bidadari yang Allah janjikan
untuk setiap hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, insyaAllah…
Saya mengenalnya sebagai seorang sahabat, sederhana yang
luar biasa. Sederhana penampilannya tapi luar biasa akhlaqnya, tegas dan
pemberani. Kami pertama kali bertemu di sebuah acara yang diadakan di kampus
kami. Saya mengenalnya sebagai seorang pemuda sederhana yang ingin terus
memperbaiki diri, maka dari sana saya mulai sering mengajaknya untuk mengikuti
kegiatan dakwah di kampus kami. Akhirnya diapun ikut bergabung bersama saya di salah
satu lembaga dakwah yang ada di kampus kami.
Perjuangannya sungguh luar biasa, dia yang dulu saya kenal
acuh pada kebaikan orang lain, kini dengan semangatnya mengajak orang-orang di
sekitarnya untuk sama-sama menjadi lebih baik termasuk pada keluarganya sendiri.
Dia yang dulu masih berpacaran, kini benar-benar hijrah berpindah menjadi sosok
pemuda yang terjaga pandangan dan hatinya. Pengorbanannya di kampus tak pernah
lelah, dengan seperti apapun kondisinya sampai ia mendapatkan amanah sebagai
pemimpin dalam sebuah organisasi dakwah. Banyak hari yang kami lalui di dalam
perjuangan ini. Ada tawa, ada air mata, ada debat pendapat, ada saling teguh
dengan keyakinan masing-masing, tapi tak jarang saling mengalah dan
mendahulukan pun sering kami lakukan.
Kami begitu dekat, layaknya persahabatan Abu Bakar As-Siddiq
dengan Umar Ibnu Khattab Al-Faruq. Kami saling mendukung, saling menjaga,
saling memotivasi, saling mengingatkan. Saya bersyukur menjadi sahabatnya, dia
adalah sahabat yang luar biasa. Inilah indahnya ukhuwah yang Allah berikan
kepada kami. Karena setiap cinta dan pengorbanan yang di landaskan karenaNya, maka
siapapun yang bergantung padaNya pasti tak akan pernah kecewa.
Ujian persahabatan itupun akhirnya datang. Tepatnya ketika
saya bersama teman-teman melakukan musyawarah untuk menggantikan posisi beliau
sebagai ketua umum dari lembaga dakwah yang ada di kampus kami yang sebelumnya
saya sebagai pemimpinnya. Bagaikan petir disiang bolong kami dengar berita
bahwa dia masuk rumah sakit. Segera saya bersama teman-teman lainnya berlari
menuju rumah sakit menemui sahabat seperjuangan kami itu. Setibanya disana saya
lihat tubuhnya terbaring lemah, wajahnya pucat, badannya yang dulu kurus
tiba-tiba nampak bengkak. Matanya sayu, namun menatap kami dengan lembut.
Senyum pun terurai indah dari mulutnya, dan hari itu saya putuskan untuk
menemaninya di rumah sakit.
Tak disangka dibalik dirinya yang kuat, di balik
perjuangannya yang tak mengenal lelah, di balik pribadinya yang ramah ternyata
ia mengidap penyakit yang ganas. Kanker darah (leukimia) stadium akhir.
Hari-hari ku lalui untuk merawatnya, ku mandikan dia, kusuapi dia, dan hal lain
yang sekiranya mampu saya lakukan untuk berbagi ujiannya itu. Dia yang dulu
kuat dalam dakwah kini hanya terbaring lemah di atas kasur selama beberapa
waktu. Tapi meski ia terbaring, tak pernah ku dengar kata keluh keluar dari
lisannya, tak henti ia pun melantunkan indahnya ayat Suci Al Qur’an dari suara
yang lembut. Masih ku ingat jelas setiap ucapnya, “Sahabatku janganlah lelah
berjuang dalam dakwah ini, seperti apapun kondisi kita. Jika ada waktu kita
berpisah, tetaplah kuat di jalan Dakwahnya. Karena tugas kita menyeru pada yang
HAQ..”. Tak terasa air matapun mengalir dipipi kami masing-masing.
Kurang lebih satu bulan ia berbaring lemah, rindu kami untuk berjuang bersama
lagi.
Hingga suatu waktu, ia tiba-tiba menunduk malu, aku heran
melihatnya begitu. Air matapun kembali mengalir membasahi janggut tipisnya. Ia pun
menceritakan sebuah kisahnya yang semakin membuatku mencintainya karena Allah.
Ia mengakui sebuah rasa yang seharusnya tak ia rasakan, di balik keterjagaannya
ternyata ia menyimpan kekaguman pada seorang akhwat. Akhwat sederhana yang
indah akhlaqnya, tapi ia jaga rasa itu hingga tak ada seorangpun yang tahu
rasanya itu. Kecuali ia hanya mengadu pada Allah sang pemilik cinta itu. Dari
rasa itu mulai timbul sampai sekarang ia tetap menjaga hatinya. Karena ia tahu
betul, saat kita memiliki kecenderungan pada lawan jenis, maka jika kita sudah
mampu segeralah meminangnya. Namun jika belum mampu, tetaplah terjaga dengan
berpuasa.
Ia hanya bertanya apakah mungkin cintanya itu akan nyata
sampai ke pernikahan. Mungkinkah akhwat
itu menyimpan hal yang sama padanya. Ia tak berharap hal itu, yang tahu kini ia
harus tetap menjaga hatinya. Saya terus memotivasi untuk sembuh, saling berandai-andai
tentang pernikahan kami masing-masing. Hingga kalimat sederhana terucap dari
lisannya “Mungkinkah waktuku akan sampai pada pernikahan..??”. Aku
tersenyum, dan berucap, “Yakinlah sembuh karena engkau pantas
menikah dengan seorang akhwat yang sholeha..”. Dia yang sederhana itu
telah diuji, badannya menderita karena sakitnya, tapi hatinya tetap penuh
kesyukuran. Pernah ku lihat ia merintih kesakitan saat jarum suntik besar
sepanjang satu jengkal tangan seorang dokter spesialis penyakit dalam menusuk dadanya,
darah pun terambil darinya. Ia hanya tersenyum, tak terasa air mata ini kembali
mengalir. Kuatlah sahabatku..
Hingga suatu kesempatan saat giliranku menjaganya, ia
memintaku untuk memandikannya. Setelah mandi ia kembali terbaring, dan meminta
keluarganya berkumpul. Kalimat yang dimimpikan setiap orang itu keluar dari
lisannya pelan, sebuah kalimat yang sebenarnya saat itu tak mau ku dengar
darinya. Namun akupun ingin mampu mengucapkannya saat masaku tiba. Kalimat
persaksian itu keluar, La illahaillah Muhammad Rasulullah…
Perlahan tubuhnya semakin mendingin dan arwah pun berpisah dari jasadnya. Ia
kini kembali pada Pemiliknya, ia kembali menemui Rabb kami, Allah Azza Wa
Jalla. Air mata kami yang ada di ruang rumah sakit tumpah seketika, aku hanya menatapnya
tanpa kedip. Ku lihat ia wafat dalam keadaan tersenyum, keringat pun terlihat
keluar dari dahinya. Yah… inilah tanda-tanda seorang wafat dalam keadaan
Khusnul Khotimah.
Aku tahu sebabnya, karena ia wafat dalam keadaan tetap
terjaga dalam dakwah dan tetap menjaga cintanya. Hanya Allah saja yang tahu.
Hingga suatu waktu setelah almarhum dikebumikan sebuah sms
masuk ke ponsel saya, sebuah sms dari seorang akhwat yang tak lain sahabatku
sendiri dalam perjuangan dakwah, sms itu berbunyi, “Assalam.. afwan akh.. makasih
atas pengorbanan antum selama ini telah merawat almarhum sahabat kita, rasanya
kalo ana seorang ikhwan atau adik kandung beliau, tiap hari pasti ana akan
bersedia merawatnya. Tapi apa daya ada hijab yang membatasi kami. Kenangan
bersama beliau masih begitu lekat di hati masing-masing. Makasih untuk kita
saling berbagi suka duka dengan saudaranya. Ada satu keinginan ana yang belum
sempat ana berikan untuk beliau, apakah antum mau jadi pengganti beliau atas
keinginan ana itu?. Karena antum adalah sahabat terdekat beliau.
Subhanallah baru kali ini ana merasakan ada persaudaraan
yang begitu lekat dan rela berkorban apapun untuk saudaranya. Mungkin air mata
tak mampu untuk diseka, ana harap kita semua dapat sama-sama bertemu di surga
sana dan mati dalam keadaan khusnul khotimah. Afwan sekedar luapan hati… Afwan
kalau ana lancang. Wassalam”.
Itulah isi sms dari akhwat itu, hanya air mata yang mengalir
selesai membaca sms itu. Kini saya kehilangan saudara seperjuangan, kami
kehilangan sosok pendakwah yang gigih dan tak kenal lelah. Kami rindu padamu
saudaraku…
Suatu waktu akhwat itu kembali mengirimkan pesan, “
Afwan… Jujur sejak beliau sakit dan tidak lagi ke kampus ana rindu dengan
beliau. Banyak kenangan yang ana dapat dari beliau. Salah satunya ketika ana
futur, beliau jadi salah satu inspirator bagi ana. Waktu itu beliau baru bangun
dari sakit, tapi tak berhenti membaca Al Qur’an. Ana kagum, terus ana ikut
tilawah juga di balik hijab tanpa mengubah niat bahwa amalan itu hanya untuk
Allah. Afwan akh.. ana tidak ada maksud apa-apa, kecuali menganggap semua orang
yang ana kenal sebagai saudara sendiri. Afwan sebenarnya ana malu, tapi kalau
ana pendam khawatir jadi penyakit. Afwan… Tolong jaga cerita ini, ana tsiqoh
pada antum. Afwan kalau ana salah berbicara. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa
ana selama ini, amiinn..”
Pesan itupun berlanjut “ Afwan telah merepotkan antum, beliau
memang tidak bisa diganti dengan siapapun. Tapi afwan ana benar-benar telah
jatuh hati pada beliau… Afwan…!!”
Dari sms itu saya baru sadar bahwa ternyata akhwat itu
memiliki perasaan pada almarhum sahabat saya.
Dan tak disangka akhwat itu adalah akhwat yang disukai oleh almarhum sahabat
terbaik saya. Tapi tak ada seorang pun yang tahu.. Almarhum mencintai akhwat
itu tapi akhwat itu tak tahu, akhwat itu mencintai almarhum tapi almarhum pun
tak tahu. Hanya Allah saja yang tahu bahwa mereka saling mencintai, dan saya menjadi
saksi atas cinta yang terjaga itu. Mencintai seseorang tak membuat diri
terhanyut dalam lalai, tapi justru ia tetap terjaga dan semakin berkualitas
imannya.
Saudaraku engkau memang belum sempat menikah dengan bidadari
dunia, tapi telah Allah janjikan bidadari surga untukmu. Mereka yang terjaga
dan cantik diri juga akhlaqnya. Engkau lebih pantas berdampingan dengan mereka
saudaraku.
Semoga engkau bahagia disana sahabat, aku disini tetap
berjuang untuk istiqomah berada di jalan dakwah ini dengan harapan bisa kembali
berkumpul bersama di surge. Dan kami akan selalu mengingat pesan dan motivasimu
sampai kapanpun, “TETAP SEMANGAT”
Kisah ini terdapat dalam buku saya: MELUKIS CINTA MERAIH BAHAGIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar