Proses pernikahan diawali dengan pemilihan calon pasangan hidup. Seorang laki-laki menentukan pilihan siapa calon istri yang akan dilamar dan dinikahinya, demikian juga seorang perempuan menentukan calon suami yang akan menjadi pendamping hidupnya. Allah Swt. Berfirman, “Maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang kalian sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.” (QS. An-Nisa’ 4: 3)
Perintah “nikahilah perempuan-perempuan”
dalam ayat diatas tentu saja ditunjukkan kepada kaum laki-laki, dengan sebuah
keterangan yang amat jelas, yaitu ma
thabalakum, yang kamu sukai. Di sini terkandung unsur ketertarikan,
kesenangan, kecenderungan. Sehingga perempuan yang dinikahi tersebut
benar-benar bisa menjadi pendamping yang menyenangkan.
Dalam hal menentukan pilihan, tentunya
anda pada awalnya harus menetapkan kriteria calon pasangan yang anda inginkan
dari sekian banyak kepentingan dalam proses pernikahan. Apabila tidak
menentukan kriteria tersebut dikhawatirkan akan jatuh ke pragmatis, baik
pragmatis karena tertipu penampilan maupun pragmatis asal dapat jodoh.
Rasulullah Saw telah bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan agamanya
agar selamat dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits diatas sangatlah jelas
bahwa dalam penentuan kriteria yang paling utama karena agamanya. Perempuan
dinikahi karena kebaikan pondasi agamanya, yang akan menjadi jaminan kebaikan
kepribadian dan urusan keluarga nantinya. Dengan kepentingan agama inilah,
seorang laki-laki telah meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan
keluarganya kelak. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw menjelaskan dengan, “ Pilihlah berdasarkan agamanya agar selamat
dirimu.”
Kriteria utama yang harus senantiasa ditetapkan
oleh seorang laki-laki dalam menentukan calon isteri adalah agama, yaitu
seorang perempuan muslimah yang salehah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
berakhlak mulia. Tentu saja kepentingan lain tidak diabaikan, hanya saja
haruslah berlandaskan kebaikan agama, bukan yang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Empat hal yang
apabila dianugerahkan kepada seseorang berarti dia mendapatkan kebaikan di
dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir,
tubuh yang sabar menerima musibah, dan isteri yang bisa menjaga diri dan harta
suaminya.” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas)
Demikian juga sabda Rasulullah Saw.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash: Sesungguhnya
dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
salehah (HR. Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad dan yang lainnya)
Dalam hadits diatas, Rasulullah Saw.
Memberikan pengarahan yang begitu penting dan amat tinggi nilai wanita mulia,
yang bisa menjaga diri dan harta suaminya. Ia adalah wanita saleheh, wanita
yang berakhlak mulia, mengerti posisi diri di hadapan Allah azzawajallah
sehingga mampu menjaga kebaikan diri dan
keluarganya.
Dengan landasan agama inilah, Islam
mengharamkan pernikahan antar agama, karena hal itu bertentangan dengan syariat
Islam yang akan menghancurkan kebaikan dalam rumah tangga. Allah Swt menegaskan
dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221.
“Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka
beriman. Seorang budak perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik sekalipun ia sangat mempesona hatimu (QS. Al-Baqarah 2:
221)
Saudaraku yang saya cintai dan banggakan
karena Allah Swt. Lantas bagaimana dengan kriteria yang anda inginkan untuk
calon pasangan hidup anda nantinya? Sudahkan anda memikirkannya? Dalam
pembahasan kriteria ini diharapkan kaum laki-laki tidak terjebak hanya oleh
faktor-faktor keduniaan yang justru akan menghinakan dirinya. Misalnya,
kecantikan. Kecantikan wajah itu hanya sifatnya sementara, semakin bertambahnya
usia seseorang maka akan semakin memudar dengan sendirinya, ataupun jika ia
terkena kecelakaan lalu lintas sehingga wajahnya rusak, hilanglah kecantikan
itu. Sehingga bisa jadi seseorang yang manikah lantasan karena kecantikan,
ketika kecantikan itu telah tiada maka akan mempengaruhi keharmonisan dalam
rumah tangga. Begitupun dengan kekayaan, karena harta bisa binasa dalam waktu
sekejap. Kedudukan juga tidak langgeng karena betapa banyak orang yang berada
pada posisi terhormat harus di jatuhkan dengan cara yang tidak terhormat
sehingga menjadi hina karenanya.
Maka dari itu Rasulullah Saw memberikan
penjelasan kepada kita semua dalam menentukan pilihan atau kriteria calon
pendamping hidup kita: Barangsiapa
menikahi perempuan hanya karena kemuliaannya, maka Allah tidak akan menambah
kepadanya kecuali kehinaan. Barangsiapa menikahi perempuan karena hartanya,
maka Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kafakiran. Barangsiapa
menikahi seorang wanita karena keturunannya, maka Allah tidak akan manambah
kepadanya kecuali kerendahan.
“Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena ingin menjaga
pandangan mata, memelihara kemaluan dari perbuatan zina, atau menyambung tali
persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkahan kepada keduanya
(HR. Thabrani).
Dan dipertegas kembali dalam sebuah hadits yang di
riwayatkan oleh Abdullah bin Amr, Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu manikahi wanita
karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikan itu akan membinasakannya;
dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, karena boleh jadi harta itu
akan menjadikannya sombong. Tetapi nikahilah wanita karena agama. Budak yang
hitam kulitnya tetapi beragama itu adalah lebih utama” (HR.
Ibnu Majah).
Al Qurthubi berkata, “Makna
hadits ini adalah, Keempat hal (harta, kedudukan, kekayaan dan agama) yang
dianjurkan menikahi wanita karenanya, yang demikian itu adalah sebaik-baik hal
yang ada; bukannya itu terjadi secara keseluruhan. Bahkan menurut lahirnya,
diperbolehkan menikah dengan tujuan tiap-tiap satu dari hal itu, namun tujuan
agama adalah lebih utama. Dari hadits ini tidak boleh dimunculkan dugaan bahwa
kafa’ah itu terbatas pada keempat hal itu saja. Sepengetahuan saya tidak ada
seorangpun yang berpendapat begitu, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai
kafa’ah itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar