Jatuh cinta adalah anugerah dari Allah,
sehingga wajar bagi siapa saja yang mengalaminya, siapapun dia. Sebagaimana
perasaan hati yang lain seperti marah, malu, gembira, bahagia, sedih dan
kecewa, jatuh cinta bisa datang begitu saja. Jatuh cinta adalah perasaan yang
sangat fitri. Ia sengaja dibekalkan Allah kepada setiap hamba-Nya agar keseimbangan
dan keharmonisan alam ini berjalan sesuai hukum-Nya. Bayangkanlah, bila rasa cinta
itu di cabut oleh Allah Swt. Tak ada lagi perasaan ketertarikan, tak ada lagi
dinamika kehidupan. maka akan musnahlah generasi manusia karena masing-masing
tak membutuhkan satu dengan lainnya.
Kecendrungan laki-laki kepada wanita,
kecendrungan wanita kepada laki-laki, keinginan bersahabat, mencari ketenangan,
mendapatkan ketentraman, dan menjadikannya sebagai sandaran sekaligus sebagai
penopang dalam hidup adalah fitrah yang telah diciptakan Allah kepada setiap
hamba-Nya. Dan untuk mewujudkan semua itu, Allah telah mensyari’atkan jalan
yang lurus lagi mulia, yaitu pernikahan. Imam
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Kami tidak melihat ada sesuatu yang dapat
semakin menguatkan perasaan saling mencintai diantara dua orang melebihi
pernikahan.” (HR. Ibnu Majah)
Sesungguhnya, cinta laki-laki kepada
perempuan dan cintanya perempuan kepada laki-laki adalah sebuah perasaan yang
manusiawi, yang bersumber dari asal fitrah yang diciptakan Allah Swt di dalam
jiwa setiap manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah
mencapai kematangan pikir dan fisik. Kecenderungan ini beserta perasaan cinta
yang mengikutinya bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian
itu tergantung pada bingkai tempat bertolaknya.
Jadi, ada bingkai yang suci dan halal
serta ada pula bingkai yang kotor dan haram. Artinya, cinta itu menjadi baik jika
tujuannya baik, yaitu pernikahan. Tapi bila tujuan jatuh cinta itu
hanya untuk bersenang-senang atau hanya untuk memenuhi nafsu belaka tanpa
mempunyai target serta ketetapan hati yang jelas kapan akan menikah, maka
itulah yang dimaksud dengan bingkai yang kotor dan haram.
Itulah yang di sebut dengan cinta. Ia
merupakan ujian bagi orang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah. Bila jatuh cinta
maka bertanyalah kepada hati konsekuensi dan tanggungjawab sekuat apa yang
sanggup kita pikul. Bila muara dari perasaan cinta itu adalah pernikahan dan
kita yakin dengannya, maka berjuanglah agar Allah mempermudah kita untuk
mencari ridha-Nya dengan pernikahan yang berkah. Akan tetapi, bila hati kita
diliputi kegamangan, keraguan dan syak wasangka akan ketetapan diri melangkah
di jalan pernikahan, maka yakinlah bahwa memperbaiki problema internal itu jauh
lebih diperlukan dari pada merawat perasaan jatuh cinta dan membiarkannya
menjadi sesuatu hal yang dapat menyakiti hati.
Jadi, tidak ada salahnya bila anda di
ta’arufkan dengan seseorang yang kebetulan Anda sudah memiliki rasa tertentu
(kagum, hormat, mendamba, atau sekalipun jatuh cinta) kepadanya. Apabila Anda
menganggap itu adalah rezeki dari Allah. Maka bersyukurlah, karena barang siapa
bersyukur, Allah akan tambah nikmat-Nya. Ekspresikan rasa syukur itu dengan
berjalan tetap di bingkai-Nya. Jangan menjadikan nikmat itu berbalik menjadi
kesombongan dan lupa diri, karena dua hal tersebut akan membuat nikmat-Nya
menjauhi Anda. Ekspresi dan gaya bicara dalam ta’aruf juga jangan kemudian
menjadi berlebihan karena Anda sudah jatuh cinta terlebih dahulu kepadanya.
Begitu pun, kalau Anda sudah jatuh cinta
dengan seseorang tetapi tak ada jalan untuk mempertemukan Anda dengannya atau
Anda belum ada kesiapan untuk menikah, maka tetaplah Anda dalam posisi
bersyukur. Berharaplah Anda menjadi golongan yang tertulis di dalam hadits yang
di kutib oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan
dalam bukunya Manajemen Cinta berikut ini, “Barangsiapa sangat mencintai seseorang
kemudian ia tetap menjaga diri dari perbuatan dosa dan menyimpan cintanya
sampai ia mati karenanya, maka ia telah mati syahid.” (HR. Hakim, Hatib
Ibnu Asyakir dan Dailami)
Tetapi bila anda tidak didahului oleh
perasaan jatuh cinta ketika ta’aruf dengan calon pasangan, Anda juga harus
senantiasa berada dalam posisi bersyukur. Bukankah sangat sedikit orang yang
melakukan ta’aruf dengan bingkai syari’at di bandingkan mereka yang menjadikan
ta’aruf sebagai kedok untuk bermaksiat? Yakinlah bahwa kesejatian cinta yang
tanpa hijab itu akan di dapatkan setelah seseorang menikah dan tak ada proses
apapun yang bisa mengalahkan pernikahan dalam merasakan kesejatian cinta.
Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang memberi karena Allah,
menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikah
karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar