Suatu hari ketika Amirul Mukminin Umar Bin Khattab
berkeliling daerah kota Madina, beliau beristirahat sejenak karena kelelahan setelah
berjalan seharian. Ketika itu beliau bersandar di sebuah tembok rumah milik
salah satu penduduk Madina. Tepatnya ketika itu malam telah beranjak, sebagian
pedagang mulai menyiapkan bahan-bahan dagangannya di rumah untuk dijual
keesokan harinya. Dan memilik rumah itu adalah penjual susu di pasar.
Terdengar dialog antara seorang ibu dan anak perempuannya
yang sedang menyiapkan susu, “ Kenapa tak kau campurkan air pada susu itu
agar kita peroleh susu yang lebih banyak dan kita mendapatkan untung yang lebih
besar” ucap ibu itu. “ Tidak umi sesungguhnya perbuatan itu
dilarang oleh Amirul Mukminin, karena itu merupakan kecurangan” jawab
anak perempuan itu. “ Tapi umar tidak ada disini? Dan dia tidak akan tahu!!” ucap
ibu itu dengan kesal. “ Iya umi sesungguhnya umar tidak akantahu,
tapi Tuhan Umar tahu. Karena Dia tidak pernah tidur, Dia melihat kecurangan
kita. Maka Demi Allah umi, aku tak mau melakukan kecurangan. Aku takut akan
azab Allah”
Mendengar dialog antara ibu dan anak perempuan itu Umar
segera beranjak dari tempatnya bersandar, dan memimta Aslam pembantu yang
menemaninya ketika berkeliling itu untuk mencari tahu informasi tentang
penduduk pemilik rumah itu. “ Wahai Aslam, apakah kau dengar percakapan
mereka tadi?” Tanya Umar. “ Tentu ya Amirul mukminin…!!” jawab
Aslam.
“ Carilah informasi tentang mereka, besok kita akan kembali
lagi kesini untuk mengunjungi mereka”
ucap Amirul Mu’minin kepada Aslam
Mendengar perintah Pemimpinnya itu, Aslam segera mencari
informasi mengenai ibu dan anak itu. Dan segera menyampaikan informasi yang dia
peroleh kepada Amirul Mukminin.
Setelah mendengar informasi dari Aslam, Umar Bin Khattab
menaruh simpatik kepada anak perempuan ibu itu. Kemudian beliaupun menceritakan
hal ini pada Ashim anaknya. Mendengar cerita dari Ayahandanya Ashim hanya
tertunduk. Melihat anaknya seperti itu Umar pun bingung, “ Wahai Ashim apa yang membuatmu
tertunduk seperti itu? Apakah kau tertarik dengan anak perempuan yang aku ceritakan
padamu?” Tanya Umar. Mendengar pertanyaan dari ayahnya itu, Ashim hanya
mengangguk. Umar pun tersenyum melihat sikap anaknya itu.
Keesokan harinya Umar ditemani anaknya Ashim dan Pelayannya
Aslam kembali ke rumah wanita penjual susu itu. Setibanya di depan pintu rumah
itu beliaupun segera mengetuk pintu dan memberikan salam.
“ Assalamu’alaikum…”
“ Wa’alaikumsalam…”
jawab pemilik rumah itu sambil tergopoh-gopoh menuju pintu. Dilihatnya Amirul
Mukminin dan dua orang pria dibelakang yang mengunjunginya. “ Bolehkah
kami masuk…?” Tanya umar pada wanita itu.
“ Tentu… silakan masuk ya Amirul mukminin…” jawab wanita itu sambil mempersilakan Amirul Mukminin dan dua
orang dibelakangnya untuk masuk.
Melihat kedatangan Pemimpinnya, ibu itu menjadi heran, “ Ada
apa ya amirul mukminin anda mengunjungi kami? Sesungguhnya kami dalam keadaan
kecukupan tidak kekurangan apapun” Tanya ibu itu dengan nada gugup dan takut.”
“ Sesungguhnya aku datang kemari bukan untuk urusan itu,
cepat bawa anak perempuanmu kemari” jawab
Umar. “ Ya Amirul mukminin” jawab ibu itu dengan tergesa-gesa menuju
kamar anak perempuannya itu.
Setelah menunggu beberapa saat, wanita itu keluar dengan anak
perempuannya yang memakai cadar untuk menutupi wajah. “ Ini anak perempuan saya…”
“
Sesungguhnya kemarin malam setelah berkeliling kota bersama Aslam aku
kelelahan. Dan beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah dengan bersandar di
tembok rumahmu. Saat itu aku mendengar percakapan anda dan anakmu tentang susu
yang akan kalian jual. Sesungguhnya engkau telah berbuat kecurangan” ucap Umar pada perempuan itu.
“ Aku bertobat ya Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak akan
melakukan itu lagi. Aku menyesal telah melakukan itu” jawab wanita itu dengar nada penuh ketakutan. “
Syukurlah… segeralah bertobat, karena azab Allah itu sungguh pedih”. “
Ya amirul mukminin, terima kasih sudah mengingatkan kami. Oh iya ada apa anda
kemari” Tanya wanita itu. “Siapa nama anakmu? Apa dia sudah menikah?”
jawab Umar. “ Namanya Zainab, dan dia belum menikah” jawab wanita itu
dengan antusias.
Sambil menarik Ashim anaknya kesisinya, Umar pun berkata “ Ini
Ashim anakku, sesungguhnya aku kemarin menceritakan tentang kalian padanya.
Mendengar ceritaku itu anakku sepertinya memiliki ketertarikan pada putrimu.
Dan jika dia setuju, maka kalian bisa saling memandang. Jika setuju, maka
kalian akan aku nikahkan”.
Zainab membuka cadarnya tapi ia hanya tertunduk, dan Ashim
pun memandang wajah Zainab sejenak kemudian segera menundukan pandangannya
kembali. Umar pun tersenyum melihat sikap anaknya itu. “Wahai zainab mengapa kau tak
melihat ke arah anakku, apa kau tidak bersedia menikah dengan anakku?”
Tanya Umar heran. Zainab pun mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Ashim,
mereka pun saling berpandangan. Kemudian kembali menundukan pandangan, sambil
tersenyum tipis karena malu.
“ Dia diam saja, tentu saja dia bersedia menikah dengan anak
anda wahai amirul mukminin…” jawab
ibu itusambil memegang pundak putrinya. “ Siapa yang tidak mau menikah dengan anak
seorang Amirul Mukminin” tambah ibu itu dengan semangatnya
“ Jangan pandang aku Amirul Mukminin, sesungguhnya saat ini
aku hanya seorang ayah yang sedang mencarikan istri untuk anak laki-lakiku. Dan
kami adalah orang miskin” Jawab
umar.
Setelah kejadian itu, akhirnya Ashim dan Zainab pun menikah.
Seorang wanita biasa dari keluarga sederhana, menikah dengan anak seorang
Pemimpin Umat karena ketakutannya kepada Allah yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui. Ia menjaga sikap dan selalu berusaha jujur dalam berjualan,
sehingga ia pantas mendampingi seorang pria sholeh anak dari seorang Amirul
Mukminin Umar bin Khattab yang dikenal sebagai memimpim yang tegas, adil namun
begitu lembut hatinya.
Sumber:
Film Umar Ibn Khattab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar