Pada tahun 2009, saya adalah seorang akhwat berusia 24 tahun
yang bekerja sebagai staff pengajar di sebuh TPA dan TKA di kota Bandung.
Selain sibuk mengajar, saya juga berikhtiar mencari rizki dengan berjualan buku
dan donat keliling yang sudah saya lakukan sejak SMA. Saya tinggal bersama ibu
dan ketiga ponakan saya yang sudah menjadi yatim piatu. Karena kedua orang
tuanya telah meninggal, dan akhirnya mereka tinggal bersama kami.
Ibu saya sendiri bekerja sebagai buruh cuci dari satu rumah
ke rumah yang lain di daerah sekitar tempat kami tinggal. Meskipun hidup serba
kekurangan, ibu berhasil menyekolahkan saya sampai SMA. Setelah lulus saya
berusaha melamar kerja sebagai SPG (Sales
Promotion Gils) ke beberapa toko, tapi syarat yang diajukan terlalu berat.
Pihak toko meminta setiap pekerjanya untuk berpenampilan dengan berpakaian
ketat bahkan membuka kerudung atau yang lebih ringan hanya mengecilkan
kerudung. Daripada menerima syarat seperti itu, lebih baik saya mencari
pekerjaan yang lebih baik dan diridhoiNya.
Alhamdulillah dengan dibantu kenalan, akhirnya saya bekerja
sebagai tenaga relawan di Rumah Zakat Indonesia. Dari sana ada seorang teman
yang mengajak saya bekerja sebagai guru honorer di sebuah TKA dan TPA. Walaupun
dengan gaji yang tidak seberapa, setidaknya saya bisa membantu ibu. Selain itu
sayapun tetap berjualan buku dan donat keliling untuk memenuhi keuangan
keluarga.
Di usia matang untuk menikah, saya belum menemukan ikhwan
yang cocok untuk menjadi suami. Kadang saya merasa minder, siapalah yang
bersedia menikah dengan akhwat yang lusuh seperti saya ini. Karena setiap hari
saya harus berjalan berkilo-kilo untuk menjajakkan dagangan saya. Jadi rasanya
sulit jika ada ikhwan yang bersedia menjadikan saya sebagai istrinya.
Sebenarnya dulu ketika lulus SMA saya pernah berjanji untuk
menikah dengan seorang ikhwan. Tapi karena keyakinan saya ketika itu belum
terlalu kuat, saya sering memintanya untuk menunggu. Sebenarnya bukan karena
saya tidak mau, tapi rasanya berat jika saya harus menikah dan meninggalkan ibu
dan keponakan-keponakanku. Karena harus menunggu terlalu lama akhirnya ikhwan
itupun menikah dengan seorang akhwat yang merupakan adik kelas kami sewaktu
SMA. Memang sedih akan tetapi saya terima hal ini dengan ikhlas dan penuh
kesabaran. Kejadian itu sudah berlangsung cukup lama, saat saya masih memiliki
keilmuan dan keyakinan yang terbatas. Saya saat itu belum terlalu paham
bagaimana menjaga hijab yang sebenarnya.
Rupanya ujian itupun kembali datang, secara tiba-tiba ikhwan
masa lalu itu datang kembali mengusik kehidupan saya. Suatu hari ikhwan itu
datang ke rumah menemui saya secara pribadi, dan menyampaikan keinginannya yang
tidak pernah saya duga. Bukankah dia baru 2 tahun menikah, tapi secara
tiba-tiba dia datang menemui saya untuk menjadikan saya sebagai istri keduanya.
Tentu saja keinginan dia saya tolak, karena saya sama sekali tidak menginginkan
menjadi istri kedua apalagi menjadi perusak rumah tangga orang lain.
Setelah mendengar penolakanku, dia sama sekali tidak menyerah. Justru niatnya
ini semakin kuat, bahkan dengan cara yang tidak baik. Dia menceritakan perilaku
jelek istrinya dihadapan saya, bahkan dia mengucapkan kata-kata cinta yang
tidak patut diucapkan oleh orang yang paham ilmu agama. Dia yang dulu saya
kenal sholeh kini seolah kehilangan keyakinannya, dia yang dulu banyak
mengajarkan kebaikan kini justru mengajak kepada keburukan.
Merasakan gangguan seperti ini tentu membuat saya sangat
tidak nyaman, akhirnya saya menceritakan hal ini pada murabbi saya. Melalui
bantuan murabbi dan beberapa teman akhirnya masalah ini bisa diselesaikan.
Ikhwan itu pun akhirnya mundur dan kembali pada istrinya. Dengan ujian ini
membuat saya berpikir banyak, saya begitu ingin menikah. Tapi adakah ikhwan
yang mau menjadi suami saya?
Sebenarnya bukan hanya karena keluarga saya menunda untuk
menikah, tapi karena saya memiliki kekurangan yang sangat fatal. Selama ini
saya tidak pernah haid, dari usia baligh sampai saat ini saya tidak pernah
haid. Bahkan saya sendiri tidak pernah tahu kapan kiranya saya bisa dikatakan
baligh. Bukankah salah satu tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan
sebagai penerus perjuanggan, dan hal itulah yang belum tentu bisa saya berikan
pada suami saya kelak. Saya ingin sekali memeriksakan diri, tapi dengan kondisi
keuangan keluarga yang seperti ini rasanya tidak akan memungkinkan untuk saya
bisa berobat.
Air mata penantian ini masih mengalir, saya masih berharap
akan ada seorang ikhwan yang bisa menerima saya apa adanya. Rupanya do’a dan
harap itu telah didengar oleh-Nya. Hingga suatu hari datang seorang ikhwan yang
datang menemui ibu saya. Ikhwan itu bermaksud baik untuk meminang saya secara
langsung kepada ibu. Mengetahui ikhwan itu saya cukup kaget, karena ikhwan itu
adalah teman dari suami murabbi saya. Beliau dikenal sebagai ikhwan yang
memiliki dedikasi tinggi terhadap dakwah.
Keesokan harinya beliau datang menemui ibu dan saya secara
langsung dan menyampaikan niat baiknya langsung kepada saya. Sebagai akhwat
biasa menerima pinangan dari seorang ikhwan yang luar biasa tentu saya sangat
bahagia. Tapi saya tidak boleh terlarut dalam kebahagiaan, karena saya harus
menyampaikan kekurangan saya pada beliau. Saat itu pula saya menceritakan
kekurangan saya pada beliau, mendengar cerita saya beliau hanya diam dan menunduk.
Saya serahkan keputusan pada beliau, jika beliau ingin melanjutkan saya akan
sangat bersyukur, namun jika tidak akan saya terima keputusan beliau dengan
ikhlas dan sabar.
Kurang lebih tiga hari setelah saya menceritakan yang
sebenarnya, saya sudah tidak banyak berharap lagi. Karena saya tahu ini pasti
sangat berat untuk beliau. Tapi rupanya perkiraan saya salah, sore harinya
beliau datang kembali bersama ibunya ke rumah kami. Tanpa saya duga beliau
datang untuk meminang langsung dengan perantara orangtua kami. Saya benar-benar
tidak menyangka dengan keputusan beliau.
Seminggu setelah lamaran , akad dan resepsi pun
dilaksanakan. Pernikahan sederhana yang penuh kebahagiaan. Saat resepsi kami
hanya diam dan menunduk. Rasanya malu sekali ketika itu, karena saya belum
pernah duduk berdampingan dan sedekat ini dengan seorang ikhwan. Akhirnya
beliau mencairkan suasana kaku di antara kami. Dengan perlahan beliau
menggenggam tangan saya, beliau memandang saya dengan lembut lalu berkata indah
yang tidak pernah saya duga sebelumnya. “Maaf jika beberapa hari yang lalu saya sudah membuat cemas, saya hanya berharap adik bisa menerima kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam diri saya. Karena sayapun akan berusaha seperti itu. Tenanglah sayangku… dengan modal kesabaran Nabi Ibrahim dan Siti Sarah
harus menunggu beratus tahun akhirnya dikaruniai seorang Ishaq yang luar biasa.
Kitapun akan belajar kesabaran dari mereka… Semoga kita bisa sesabar mereka,
siap untuk belajar bersama?” Mendengar ucapannya ini saya hanya bisa
mengangguk dan menangis haru karena Allah telah mengaruniai suami yang luar
biasa seperti beliau.
Alhamdulillah tanpa harus menunggu beratus tahun, setelah
beberapa bulan kami menikah saya haid. Dan setahun setelah menikah Allah
mengamanahkan sebuah kehidupan dalam rahim saya. Dan kini kami hidup bahagia
dengan putri kami tercinta yang lucu dan menggemaskan. Segala puji bagi Allah
yang telah menganugrahkan kehidupan yang luar bisa pada saya khususnya. Inilah
janji Allah, ketika kita yakin maka Allah tak akan pernah memungkiri janjiNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar